Rabu, 10 Januari 2018

ISLAM DAN KEBANGSAAN


ISLAM DAN KEBANGSAAN

Oleh: Hardiansyah Fadli (Generasi Muda NU)

Belakangan ini kita dikejutkan dengan fakta sekelompok orang yang mencoba membenturkan kembali Islam dengan Pancasila. Celakanya lagi, salah satu publik figur di negara ini dengan tanpa tedeng alin-aling mengatakan bahwa nasionalisme itu tidak ada dalilnya. Bak mendapat halilintar di siang bolong, membuat penulis terperangah, kok bisa?

Berangkat dari hal diatas, pada kesempatan kali ini, penulis akan menuangkan sejumlah argumentasi terkait tentang hubungan Islam dan nasionalisme yang tak terpisahkan satu sama lain dan itu telah membaur. Jadi upaya mendikotomi Islam dan kebangsaan atau nasionalisme adalah satu bentuk logical fallacy terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara.

Melihat Relasi Islam dan Kebangsaan dari Kacamata Historis

Beranjak dari histori bangsa ini, kita mungkin masih ingat peristiwa dimana tentara Inggris beserta mengeluarkan sebuah ultimatum yang meminta kepada rakyat Surabaya untuk menyerahkan kota Surabaya kepada  sekutu. Sontak hal ini ditolak mentah-mentah oleh rakyat Surabaya. Bung Tomo dalam sebuah pidatonya yang sangat heroik mampu membakar semangat tempur rakyat Surabaya untuk mempertahankan kota mereka dari gempuran pasukan Inggris. Diakhir sesi pidato, dengan lantangnya Bung Tomo meneriakkan lantunan takbir dan kata “merdeka” yang semakin memacu ghirah rakyat Surabaya untuk berperang melawan kolonialisme dan imperialisme.

Amat perlu kita pahami bahwa konflik yang melibatkan rakyat Surabaya ini disebabkan oleh tewasnya salah satu Jenderalnya Inggris yakni Brigadir Jenderal Mallaby pada tanggal 29 September 1945. Seumur-umur tentara Inggris belum pernah kehilangan Jenderal dalam setiap perang yang diikuti baik itu perang dunia ke 1 dan 2. Inggris lupa bahwa yang mereka hadapi bukanlah sekumpulan rakyat biasa yang lemah dan tak berdaya.

Kita akui bahwa persenjataan rakyat Surabaya kala itu tidak secanggih senjata tentara Inggris akan tetapi rakyat Surabaya mampu memberikan perlawanan terhadap Inggris yang ingin menjajah kembali Indonesia. Tentunya kita bertanya apa yang membuat perlawanan tersebut begitu besar? Jawabannya hanya satu yakni iman yang melekat di dada menjadi pemicu semangat juang rakyat Surabaya.

Resolusi jihad yang dikeluarkan oleh NU pada tanggal 22 Oktober 1945 sangatlah penting dimasa itu, karena dari sinilah spirit umat Islam melawan penjajahan itu terbentuk, sebagai manifestasi dari rasa cinta tanah air. Ya, hubbul wathon minal iman melekat di hati sanubari setiap umat Islam kala itu. Dengan adanya semangat bela negara dan bangsa, bersatu menjadi sebuah tekad bulat sebagai keyakinan mental yang tak dapat dikalahkan, pada akhirnya memberikan pengaruh yang amat besar bagi perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Amanat dari resolusi ini adalah wajib bagi umat Islam bahu-membahu di seluruh penjuru tanah air melakukan perlawanan terhadap segala bentuk imperialisme dan kolonialisme yang akan mencengkeram kembali Indonesia dalam rangka mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Karena resolusi jihad ini merupakan produk ijtihad ulama, yang mengatakan hubbul wathon minal iman, yang artinya, “cinta tanah air sebahagian dari iman”. Seyogyanya Indonesia dengan penduduk mayoritas adalah Islam, maka harus ada upaya-upaya untuk menyelamatkan negeri ini dari penindasan pihak kolonial.

Islam dan Kebangsaan: Dwi Tunggal Kehidupan dalam Berbangsa dan Bernegara

Secara konstitusi, konsep kebangsaan/nasionalisme itu bersumber dari pancasila. Sebagaimana yang disampaikan Gus Dur bahwa, “Pancasila ditempatkan kaum muslim sebagai landasan konstitusional dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sedangkan Islam menjadi aqidah dalam kehidupan kaum muslim. Ideologi konstitusional tidak dipertentangkan dengan agama, tidak menjadi penggantinya dan tidak diperlakukan sebagai agama. Dengan demikian tidak akan diberlakukan UU maupun peraturan yang bertentangan dengan ajaran agama.

Dari pernyataan diatas, Gus Dur menempatkan Pancasila dan Islam secara proporsional. Pancasila adalah landasan konstitusional dalam berbangsa dan bernegara, sedangkan Islam merupakan akidah kehidupan umat Islam. Jadi secara konstitusi Pancasila tidak akan mampu mengganti akidah, sebab akidah berkaitan dengan dasar keyakinan umat beragama. Dengan adanya landasan konstitusi dalam berbangsa dan bernegara justru menjadi penjamin bagi Islam itu sendiri, dengan ukuran tidak adanya aturan Negara yang bertentangan dengan akidah Islam.

Jelas bahwa semangat menjalankan syariat keagamaan serta mencintai tanah air bukanlah dua hal yang bertentangan. Islam dan kebangsaan menjadi satu napas yang mewarnai dinamika, romantika serta dialektika revolusi kemerdekaan Indonesia pada saat itu. Kecintaan pada tanah air mengantarkan bangsa Indonesia pada kemerdekaan, sehingga hal itu tertuang pada pembukaan UUD 1945 yang mengatakan bahwa, “Atas berkat rahmat Allah yang maha kuasa dengan didorongkan oleh keinginan luhur maka dengan ini bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaan”.


Jadi dari beberapa gagasan tentang relasi Islam dan Kebangsaan di atas sudah menggambarkan seperti apa hubungan antara Islam dan Kebangsaan. Keduanya menjadi bahagian yang tak terpisahkan satu sama lain. Islam dan kebangsaan adalah dwi tunggal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Mengatakan bahwa orang-orang Islam tidak nasionalis adalah pendapat yang tidak dapat dibenarkan, karena sejarah telah membuktikan bahwa orang-orang Islam menjadikan Islam dan kebangsaan sebagai pemicu untuk melawan segala bentuk imperialisme dan kolonialisme. Tabik!!

4 komentar:

MELIHAT TALAQQI RUKBAN, HADHIR LI BADIN DAN IHTIKAR DALAM KONTEKS JAMAN NOW

MELIHAT TALAQQI RUKBAN, HADHIR LI BADIN DAN IHTIKAR DALAM KONTEKS JAMAN NOW BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Masalah ...