Oleh:
Hardiansyah Fadli (Generasi Muda NU)
Belakangan ini kita
dikejutkan dengan fakta sekelompok orang yang mencoba membenturkan kembali
Islam dengan Pancasila. Celakanya lagi,
salah satu publik figur di negara ini dengan tanpa tedeng alin-aling mengatakan
bahwa nasionalisme itu tidak ada dalilnya. Bak mendapat halilintar di siang
bolong, membuat penulis terperangah, kok bisa?
Berangkat dari hal
diatas, pada kesempatan kali ini, penulis akan menuangkan
sejumlah argumentasi terkait tentang hubungan Islam dan nasionalisme yang tak
terpisahkan satu sama lain dan itu telah membaur. Jadi upaya mendikotomi Islam
dan kebangsaan atau nasionalisme adalah satu bentuk logical fallacy
terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara.
Melihat Relasi Islam
dan Kebangsaan dari Kacamata Historis
Beranjak dari histori
bangsa ini, kita mungkin masih ingat peristiwa dimana tentara Inggris beserta
mengeluarkan sebuah ultimatum yang meminta kepada rakyat Surabaya untuk
menyerahkan kota Surabaya kepada sekutu.
Sontak hal ini ditolak mentah-mentah oleh rakyat Surabaya. Bung Tomo dalam
sebuah pidatonya yang sangat heroik mampu membakar semangat tempur rakyat Surabaya
untuk mempertahankan kota mereka dari gempuran pasukan Inggris. Diakhir sesi
pidato, dengan lantangnya Bung Tomo meneriakkan lantunan takbir dan kata
“merdeka” yang semakin memacu ghirah rakyat Surabaya untuk berperang
melawan kolonialisme dan imperialisme.
Amat perlu kita pahami
bahwa konflik yang melibatkan rakyat Surabaya ini disebabkan oleh tewasnya
salah satu Jenderalnya Inggris yakni Brigadir Jenderal Mallaby pada tanggal 29
September 1945. Seumur-umur tentara Inggris belum pernah kehilangan Jenderal
dalam setiap perang yang diikuti baik itu perang dunia ke 1 dan 2. Inggris lupa
bahwa yang mereka hadapi bukanlah sekumpulan rakyat biasa yang lemah dan tak
berdaya.
Kita akui bahwa
persenjataan rakyat Surabaya kala itu tidak secanggih senjata tentara Inggris
akan tetapi rakyat Surabaya mampu memberikan perlawanan terhadap Inggris yang ingin
menjajah kembali Indonesia. Tentunya kita bertanya apa yang membuat perlawanan
tersebut begitu besar? Jawabannya hanya satu yakni iman yang melekat di dada
menjadi pemicu semangat juang rakyat Surabaya.
Resolusi jihad yang
dikeluarkan oleh NU pada tanggal 22 Oktober 1945 sangatlah penting dimasa itu,
karena dari sinilah spirit umat Islam melawan penjajahan itu terbentuk, sebagai
manifestasi dari rasa cinta tanah air. Ya, hubbul wathon minal
iman melekat di hati sanubari setiap umat Islam kala itu. Dengan adanya
semangat bela negara dan bangsa, bersatu menjadi sebuah tekad bulat sebagai
keyakinan mental yang tak dapat dikalahkan, pada akhirnya memberikan pengaruh
yang amat besar bagi perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Amanat dari resolusi
ini adalah wajib bagi umat Islam bahu-membahu di seluruh penjuru tanah air
melakukan perlawanan terhadap segala bentuk imperialisme dan kolonialisme yang
akan mencengkeram kembali Indonesia dalam rangka mempertahankan kemerdekaan
Indonesia. Karena resolusi jihad ini merupakan produk ijtihad ulama, yang
mengatakan hubbul wathon minal iman,
yang artinya, “cinta tanah air sebahagian dari iman”. Seyogyanya Indonesia
dengan penduduk mayoritas adalah Islam, maka harus ada upaya-upaya untuk
menyelamatkan negeri ini dari penindasan pihak kolonial.
Islam dan Kebangsaan:
Dwi Tunggal Kehidupan dalam Berbangsa dan Bernegara
Secara konstitusi,
konsep kebangsaan/nasionalisme itu bersumber dari pancasila. Sebagaimana yang
disampaikan Gus Dur bahwa, “Pancasila ditempatkan kaum muslim sebagai landasan
konstitusional dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sedangkan Islam menjadi
aqidah dalam kehidupan kaum muslim. Ideologi konstitusional tidak
dipertentangkan dengan agama, tidak menjadi penggantinya dan tidak diperlakukan
sebagai agama. Dengan demikian tidak akan diberlakukan UU maupun peraturan yang
bertentangan dengan ajaran agama.
Dari pernyataan diatas,
Gus Dur menempatkan Pancasila dan Islam secara proporsional. Pancasila adalah
landasan konstitusional dalam berbangsa dan bernegara, sedangkan Islam
merupakan akidah kehidupan umat Islam. Jadi secara konstitusi Pancasila tidak
akan mampu mengganti akidah, sebab akidah berkaitan dengan dasar keyakinan umat
beragama. Dengan adanya landasan konstitusi dalam berbangsa dan bernegara
justru menjadi penjamin bagi Islam itu sendiri, dengan ukuran tidak adanya
aturan Negara yang bertentangan dengan akidah Islam.
Jelas bahwa semangat
menjalankan syariat keagamaan serta mencintai tanah air bukanlah dua hal yang
bertentangan. Islam dan kebangsaan menjadi satu napas yang mewarnai dinamika,
romantika serta dialektika revolusi kemerdekaan Indonesia pada saat itu.
Kecintaan pada tanah air mengantarkan bangsa Indonesia pada kemerdekaan, sehingga
hal itu tertuang pada pembukaan UUD 1945 yang mengatakan bahwa, “Atas berkat
rahmat Allah yang maha kuasa dengan didorongkan oleh keinginan luhur maka
dengan ini bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaan”.
Jadi dari beberapa
gagasan tentang relasi Islam dan Kebangsaan di atas sudah menggambarkan seperti
apa hubungan antara Islam dan Kebangsaan. Keduanya menjadi bahagian yang tak
terpisahkan satu sama lain. Islam dan kebangsaan adalah dwi tunggal dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Mengatakan bahwa orang-orang Islam tidak
nasionalis adalah pendapat yang tidak dapat dibenarkan, karena sejarah telah
membuktikan bahwa orang-orang Islam menjadikan Islam dan kebangsaan sebagai
pemicu untuk melawan segala bentuk imperialisme dan kolonialisme. Tabik!!

Mantap min, menambah wawasan, 👍
BalasHapustks cmhey
HapusAbang ku memang mantap :v
BalasHapusok mam...
Hapus