Minggu, 31 Desember 2017

Implementasi Nilai Ihsan dalam Kehidupan


Oleh: Hardiansyah Fadli (Generasi Muda NU)


Ihsan secara bahasa adalah berbuat baik, bagus, dan indah. Di dalam al-quran Allah menyebut 195 kali kata ihsan. Salah satunya adalah:
ان احسنتم احسنتم لانفسكم
Jika kamu berbuat baik, kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri... (qs. Al-Isra:7)
Menurut terminologi agama Islam, Ihsan berarti seseorang yang menyembah Allah seolah-olah ia melihat-Nya, dan jika ia tidak mampu membayangkan melihat-Nya, maka orang tersebut membayangkan bahwa sesungguhnya Allah melihat perbuatannya. Dalam sebuah essay KH. Husein Muhammad mengatakan: "Ihsan secara elaboratif adalah kejujuran, ketulusan, kesederhanaan, kesabaran, kedermawanan, menjaga kehormatan diri, menjaga kepercayaan, menghargai orang lain, tdk mencaci maki atau merendahkan, tdk menyakiti hati tdk melakukan penyelewengan thdp hak org lain, tdk kikir, tdk menipu, tdk berkhianat, tdk merusak alam, dsb. Namun lebih dari itu, ihsan juga berarti bertindak santun, kasih, dan mencintai semua ciptaan Tuhan, tdk hanya kpd manusia, tetapi juga kpd ciptaan Tuhan di alam semesta.

Kalau kita telusuri lebih dalam lg, makna ihsan ialah dgn menghadirkan Tuhan dalam setiap detak jantung dan helaan nafas kita. Menumbuhkan keyakinan bahwa kita senantiasa berada dalam pengawasan Allah swt. Rasulullah Saw pernah bersabda, "ketika Nabi ditanya ttg arti ihsan, beliau menjawab, ihsan adalah anda beribadah kpd Tuhan seakan-akan anda melihatNya. Bila anda tdk bisa, bayangkan bahwa Dia selalu melihat dan mengawasi anda". Ihsan dlm hadist ini memiliki makna lebih mendalam dan bersifat spiritualitas profetik, yakni mengembalikan jiwa pd kondisi aslinya, bentuk yg seindah-indahnya dan semurni-murninya.

Sayyed Hossein Nasr dlm bukunya The Heart of Islam (2002) pernah mengatakan, ihsan adalah hidup dlm keintiman dgn Tuhan, kondisi ketika aroma dan nuansa kasih sayang, cinta, kedamaian, dan keindahan benar2 dirasakan. Ihsan adlh menyelam dlm keindahan pd semua level manifestasinya, keindahan yg membebaskan kita dri batasan2 eksistensi keduniawiaan dan yg akhirnya akan menenggelamkan kita kedalam samudera ketakterbatasan Tuhan.

Dengan mengimplementasikan nilai ihsan dlm kehidupan akan mengantarkan seseorang pada satu titik dmn mereka menyadarinya bahwa apa yg mereka lakukan selama ini tdklah berarti apa-apa dibandingkan dgn rahman dan rahimnya Allah yg tak terbatas. Wallahu a'lam.

Jangan Malu Untuk Berkata "Saya Tidak Tahu"

Dalam aktivitas pembelajaran ada adab-adab yang harus diikuti oleh para tholibul 'ilmi supaya ilmu yang diperoleh menjadi berkah. Salah satu tata cara belajar yg diajarkan oleh Quran adalah tdk boleh malu utk berkata "tdk tahu," seandainya memang tdk tahu. Karena, tdk ada istilah tua dlm belajar dan tdk ada satu makhluk pun yg sempurna mengetahui segala sesuatu, hanya Allah yg Maha Mengetahui. Allah berfirman:
"...Dan tdklah kamu diberi pengetahuan kecuali sedikit." (Al-Isra:85)
Berkaitan dgn hal diatas, ada beberapa kisah hikmah yang nantinya menjadi bahan renungan bagi kita:

1. Dalam al-quran menyampaikan kisah ttg Nabi Adam. Pd saat malaikat diuji oleh Allah SWT, tanpa malu2 mereka menjawab "tdk tahu", betapa pun dekat martabat mereka dihadapan Allah. Ini termaktub pd surat al Baqarah: 31-33.

2. Allah juga mengajarkan kpd Rasulullah saw utk berserah diri kpdnya ttg apa yg tdk diketahuinya, misalnya persoalan Hari Kiamat. Silahkan bisa dilihat pada surat al-a'raf:187 dan al-Ahzab:63. Oleh karena itu didlm hadits mahsyur disebutkab, ketika Rasul saw ditanya oleh Jibril ttg dtgnya hari akhir, beliau lantas menjawab, "yg ditanya tdk lebih tahu dri yg bertanya."

3. Ali ra ketika bersama sahabatnya yg lain berkata, " Betapa dinginnya hati, betapa dinginnya hati!" Kemudian ia ditanya, apa artinya, ya Ali?" Ia kemudian menjawab, "Ialah ketika ditanya dan tdk tahu, akan menjawab, 'Allahu a'lam.' "

4. Diriwayatkan, se2orang bertanya kpd Malik bin Anas, ya Aba Abdullah, saya dtg stlh menempuh perjalanan selama 6 bulan utk bertanya kpdmu ttg permasalahan kaumku. "Setelah org itu membeberkan permasalahannya, ia menjawab, "katakanlah bhwa Malik bkn ahlinya." Malik berkata, "seyogyanya org alim menyertakan kata 'tdk tahu' dlm setiap kesulitan yg dihadapinya, yg demikian itu lebih baik baginya."

5. Imam asy-Sya'bi ditanya ihwal suatu persoalan. Kemudia ia berfikir dlm2 utk mencari jawabannya, namun krn tdk juga menemukannya, ia menjawab, "saya tdk tahu." Apabila sahabat ditanya ttg suatu hal yg ia merasa kesulitan utk menjawabnya, pasti mereka bersikap sama.

Maka, sudah seyogyanya kalau adab dan tata cara dlm mencari ilmu ini menjadi adat umat Islam, karena Rasul saw adlh uswah kita yg tlah melaksanakan semua itu, dan dia contoh mulia yg wajib kita ikuti. Ketika ditanya ttg sesuatu yg belum diberi tahu oleh Allah, dia menunda sampai turun ayat dari-Nya, tdk asal menjawab tanpa ilmu yg benar. Begitu pula para sahabat2 Nabi dan ulama2 terdahulu melaksanakan hal yg serupa dgn Nabi, lantas anda bagaimana?
Mengakhiri tulisan ini, ada ungkapan terkenal dri para ulama terdahulu bahwa "tdk tahu" adlh setengah dri ilmu. Dan, Imam Ali karramallhu wajhahu berkata, "Barangsiapa salah utk tdk mengucapkan 'tdk tahu' maka akan terbunuhlah bala tentaranya!"
Wallahu a'lam bis showab.

Disarikan dri buku Al-Qur'an Berbicara ttg Akal dan Ilmu Pengetahuan karangan DR. Yusuf Qardhawi. Judul asli: Al 'aqlu wal-'ilmu fil-qur'anil-karim.

Jumat, 29 Desember 2017

PERKARA PATUNG: MEMPERTANYAKAN SIKAP PEMERINTAH DAERAH ACEH TENGGARA

Oleh: Hardiansyah Fadli (Wakil Ketua Bidang Pendidikan dan Pengembangan SDM Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Aceh Tenggara Kota Bukittinggi dan Aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia)

Aceh merupakan salah satu dari beberapa provinsi di Indonesia yang diberi wewenang khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakatnya sesuai dengan amanah UU Pemerintahan Aceh No. 11 Tahun 2006. UU ini dibuat sebagai pengganti UU otonomi khusus dan hasil kesepakatan damai antara Pemerintah RI dan Gerakan Aceh Merdeka, yang dikenal dengan MoU Helsinki.

Beberapa topik yang dibahas padaUndang-Undang tersebut adalah; Pertama, pemberlakuan Syariat Islam sebagai tradisi dan norma yang melekat pada diri masyarakat Aceh. Kedua, pengelolaan bersama sumber daya alam berupa minyak dan gas oleh Pemerintah RI dan Aceh. Ketiga, dibolehkannya pendirian partai politik lokal.

Berangkat dari poin pertama pada topik bahasan UU Pemerintahan Aceh yakni pemberlakuan Syariat Islam sebagai tradisi dan norma yang melekat pada rakyat Aceh meliputi aspek aqidah, syariah dan akhlak. Hal ini bertujuan untuk melindungi agama, jiwa, harta, akal, kehormatan, harkat, nasab, masyarakat dan lingkungan hidup. Tentunya pada tataran pelaksanaan Syariat Islam ini dilakukan secara terpadu dan terkonsolidasi pada setiap tingkatan pemerintahan yang ada di Aceh di bawah arahan dari Wali Nanggroe.

Adapun ,maksud dari terpadu dan terkonsolidasi diatas adalah pelaksanaan Syariat Islam tersebut berdasarkan prinsip al-maqasid al-syariah, hikmah al-tasyri’, kaedah fiqh kulliah, kaedah ushulliyah dan prinsip-prinsip syariat dengan mengedepankan kemaslahatan dan kerukunan serta menghindari kemudhoratan.

Kemajemukan Aceh Tenggara

Aceh Tenggara adalah satu dari beberapa kabupaten/kota yang ada di provinsi Aceh. Kondisi masyarakat di daerah tersebut lebih multikultural dibandingkan Aceh Bagian Tengah (Aceh Tengah, Bener Meriah, dan GayoLues) yakni didiami lebih dari 3 suku yaitu: Alas, sebagai suku tempatan diikuti oleh suku-suku pendatang seperti Singkil, Aceh, Batak Toba, Karo, Gayo, Jawa, Minangkabau, Mandailing, Nias dan suku Aneuk Jamee.

Aceh Tenggara ini sangat unik, karena memiliki masyarakat yang majemuk tetapi hampir tidak ada terdengar sama sekali kerusuhan yang melibatkan SARA. Bagi masyarakat Aceh Tenggara dengan suku alas sebagai masyarakat pribumi senantiasa memegang teguh mantra ajaib yang diwariskan turun-temurun oleh pedahulunya yakni, sepakat segenep kite kekhine. Tentunya ungkapan di atas sejatinya tersimpan nilai-nilai persatuan dengan berlandaskan pada musyawarah dan mufakat. Keragaman ini tentunya merupakan modal penting bagi Aceh Tenggara, namun dibalik semua itu tersimpan sumber konflik yang besar kalau sewaktu-waktu ada sekelompok orang yang memicunya.

Meneropong Patung Kampung Nangka dari Norma Hukum, Adat, Etika dan Agama

Selaku warga Negara yang hidup di Indonesia tentu memegang teguh norma-norma yang berlaku di Indonesia. Kita bisa bayangkan keadaan dimana norma-norma diabaikan maka akan menimbulkan kebingungan dimana-mana. Hadirnya norma-norma ditengah masyarakat tentu sebagai nilai-nilai yang diyakini kebenarannya dengan tujuan dijadikan sebuah pedoman dalam membentuk tatanan masyarakat.

Belakangan ini masyarakat Aceh Tenggara dihadapkan dengan persoalan yang cukup pelik dan ini bisa menjadi sumber konflik yang besar kalau tidak segera ditangani. Permasalahan yang muncul adalah terkait tentang pendirian monumen berupa patung manusia di Kampung Nangka oleh salah satu keluarga yang kebetulan beragama Kristen. Konon kabarnya, pembuatan monumen ini bertujuan sebagai bentuk penghormatan sang anak terhadap jasa orang tua mereka yang telah mengenalkan pendidikan pada anak-anaknya.

Hal ini menuai pro-kontra ditengah-tengah masyarakat terkhusus masyarakat muslim. Bagi masyarakat muslim, pendirian monumen ini bertentangan dengan norma-norma hukum yang berlaku di tanah Alas. Aceh Tenggara yang notabenenya merupakan bahagian dari Aceh dengan menerapkan syariat Islam secara kaffah maka hal-hal yang bertentangan dengan syariat itu tidak diperbolehkan untuk dilakukan.

Berbicara tentang patung bagi masyarakat muslim ini sudah masuk dalam ranah aqidah yang tidak bisa ditolerir. Didalam keyakinan masyarakat muslim, persoalan patung ini identik dengan berhala. Ada banyak nash-nash dalam al-quran maupun hadist yang melarang pembuatan patung yang menyerupai makhluk hidup. Ini pun dipertegas oleh Fatwa Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh Nomor 12 Tahun 2013 Tentang Seni Budaya dan Hiburan Lainnya Dalam Pandangan Syariat Islam.

Di sisi lain dalam bingkai bernegara, bukan berarti rakyat Aceh tidak melindungi atau mengakui hak-hak kaum minoritas. Seharusnya bagi mereka yang telah memahami bahwa Aceh adalah provinsi yang berbeda dengan provinsi-provinsi lainnya di Indonesia sebagaimana yang telah kita singgung di atas, seharusnya tunduk pada ketentuan-ketentuan yang berlaku di tanah Aceh terkhusus tanah Alas Aceh Tenggara.

Berangkat dari hal diatas tentunya Pemerintah dalam hal ini harus peka terhadap setiap persoalan-persoalan yang muncul ditengah masyarakat, apalagi yang berkaitan dengan hal aqidah. Pemerintah dalam hal kebijakannya tentu harus menjaga aqidah masyarakatnya supaya terciptanya kenyamanan dan keamanan dalam hal peribadatan. Persoalan patung di kampung nangka misalnya, Pemerintah harus sigap membaca persoalan ini. Jangan terlalu lama dalam mengambil keputusan.

Padahal beberapa qanun-qanun sudah menegaskan peranan dari pemerintah dalam menjaga aqidah umat, seperti; Qanun Aceh Nomor 8 Tahun 2014 Tentang Pokok-Pokok Syariat Islam Bab V berkaitan dengan Aqidah pasal 11 ayat 3 menjelaskan, “Pemerintah Aceh dan Pemerintahan Kabupaten/Kota bersama-sama dengan masyarakat berkewajiban menanam, membina dan memperkokoh aqidah pada setiap muslim sejak dini. Kemudian pada Pasal 12, Qanun ini kembali menegaskan bahwa, “Pemerintahan Aceh dan Pemerintahan Kabupaten/Kota bertanggung jawab melakukan perlindungan, dan pengawasan terhadap aqidah umat.

Kemudian Qanun Aceh Nomor 8Tahun 2015 Tentang Pembinaan dan Perlindungan Aqidah Bab I Ketentuan Umum pasal 2 menyebutkan, ruang lingkup pembinaan dan perlindungan aqidah adalah segala kegiatan, perbuatan, dan keadaan yang mengarah kepada upaya membina dan melindungi aqidah”.

Last but not least, menurut penulis dalam hal ini kita tidak perlu lagi berdialektika tentang fenomena patung ini dengan berbagai macam argumentasi yang disampaikan oleh mereka yang pro dengan patung ini ataupun orang-orang yang terkesan acuh tak acuh dengan masalah ini. Seharusnya sebagai warga Negara yang baik, kita dituntut untuk patuh terhadap norma-norma yang berlaku pada daerah tertentu sebagaimana kearifan local menyebutkan, “dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung”.

Ketika Aceh dengan segala keistimewaan yang ada padanya memberlakukan Syariat Islam konsekuensinya bagi kita pemeluk agama Islam wajib menaati peraturan-peraturan yang ada sedangkan bagi pemeluk agama lain menghormati pemeluk agama Islam sebagai wujud toleransi umat beragama dengan tujuan menciptakan kerukunan antarumat beragama.

Akhirul kalam, Gus Dur dalam pelbagai seminar-seminar dan tulisan-tulisan ketika berbicara tentang peranan pemerintah ditengah masyarakat senantiasa mengutip kaedah fiqh yang menyebutkan bahwa “tashorruful imamalaar-roiyyah manuthun bil mashlahah (kebijakan yang diambil seorang pemimpin harus berbasis kemaslahatan)”.

Apabila kita kaitkan dengan persoalan yang ada hari iniditengah-tengah masyarakat Aceh Tenggara tentang monumen yang didirikan oleh individu tertentu, maka Pemerintah Aceh Tenggara harus segera mengambil keputusan yang mengedepankan prinsip keadilan yang tentunya tidak melukai perasaan umat Islam yang notabenenya mereka menjalankan Syariat Islam sebagai wujud kepatuhan mereka terhadap norma-norma hukum yang berlaku. Jika hal ini diabaikan oleh Pemerintah, dikhawatirkan memicu perpecahan dan pertikaian ditengah-tengah masyarakat.

MEMBELA GERAKAN MAHASISWA BUKITTINGGI


Berbicara ttg gerakan mahasiswa, ada 2 tipe gerakan mahasiswa. Pertama, gerakan Horizontal ialah gerakan mahasiswa yang fokus pada masyarakat secara langsung. Contoh: bakti sosial, community development, dll. Kedua, gerakan vertikal fokusnya bukanlah ke masyarakat secara langsung, melainkan ke elit politik (eksekutif, legislatif dsb.). Tujuan dari gerakan ke elit politik ini bermain dalam ranah kebijakan yg pro rakyat, meminta klarifikasi, dsb. Biasanya gerakan ini dimanifestasikan dengan dua cara, yaitu aksi demonstrasi dan audiensi langsung ke pemerintah, diakhiri dgn memberikan hasil kajian yg dilakukan mahasiswa.


Hal yang terjadi di medsos di jaman now adalah banyak sekali orang, terkdg mahasiswa itu sendiri yg menghina, mencibir, atau menyindir gerakan mahasiswa secara vertikal. Maraknya cibiran tsb, saya yakin dipengaruhi oleh berbagai pengaruh. Salah satunya adlh pengaruh dri social media influenser yg mulai menyuarakan pendptnya. Kita ambil contoh saja gerakan kawan2 mahasiswa td siang di Bukittinggi terkait ttg penolakan penggusuran warga di lahan PT KAI yg menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat.

Bagi yg kontra, terlepas apapun itu yg mnjd alasan antum2 (sapaan anak dakwah), belajarlah menghargai niatan baik dri kawan2 mahasiswa. Mereka menyadari sbg agent social of control dan elite minority, memiliki tugas dan fungsi menyuarakan aspirasi rakyat kecil thdp pemerintah dlm hal ini pihak PT KAI. Tidak ada sedikitpun niatan utk unjuk gigi dan sok2an, hal itu pure membela kepntingan masyarakat. Sejatinya mereka tdk menolak aktivasi KAI, yg mereka tolak pembangunan hotel yg mengarah kpd kepentingan kapitalis. Saya tdk akan membahas n memperdebatkan lbh dlm lg persoalan sengketa ini. Satu hal yg ingin saya sampaikan kpd kita semua, belajarlah adil sejak dlm pikiran dan mari menanamkan sikap toleransi dan husnudzon. Mengakhiri tulisan ini, "Dua kata satu semangat, Hidup Mahasiswa! Tiga kata satu tujuan, hidup Rakyat Indonesia!"
Tabik!!!

MEMBELA PALESTINA


Jerussalem is nothing but Jerussalem is everything (Sultan Salahuddin al-Ayyubi)

Klaim sepihak Donald Trump pada tanggal 10 Desember 2017 lalu menuai kecaman dari pemimpin-pemimpin muslim dunia. Tak lupa pula pasca pernyataan tersebut disusul dengan pidato presiden Turki Erdogan mengatakan bahwa Al-Quds adalah ambang batas kesabaran umat Islam. Ternyata tidak hanya berhenti disana saja, sebagai bentuk penolakan disusul dengan pertemuan negara-negara OKI untuk menolak klaim Trump.

Kalau kita lihat lebih dalam lagi, sebenarnya kenapa krisis Palestina tidak pernah berujung, ini disebabkan oleh negara Islam yang tidak kompak. Mengutip tulisan kang Khalid Syeirazy (Sekjen PP ISNU), mengungkapkan bahwa banyak negara, termasuk Indonesia, menolak membangun hubungan diplomatik dengan Israel sebagai bentuk simpati kepada penderitaan rakyat Palestina. Tetapi negara lain seperti Mesir, Turki, Yordania dan UEA justru menjalin hubungan diplomatic resmi. Negara-negara Islam lain, termasuk Arab Saudi, menjalin hubungan dekat dengan Israel tetapi rahasia. Kebanyakan dukungan negaa Arab terhadap Palestina bersifat palsu belaka.

Lantas kepada siapa kita berharap sebagai patron gerakan atas pembelaan Palestina? Jawabnya adalah kita Indonesia. Indonesia yang notabenenya sebagai negara dgn jumlah penduduk muslim terbesar didunia memiliki peranan penting untuk membela saudara-saudaranya di Palestina yang hari ini mengalami penindasan dan penjajahan. Karena secara historis hubungan Indonesia dan Palestina tidak bisa dilepaskan. Kita mungkin masih ingat dikala awal-awal kemerdekaan, negara kita pada saat itu membutuhkan pengakuan dari negara-negara lain, Palestina adalah salah satu dari beberapa negara Islam yang mengakui kemerdekaan Indonesia.

Selain itu, jika kita berangkat dari historis keyakinan agama kita, ada 4 hal penting kenapa kita memang harus membela Palestina. Pertama, Al-Quds itu adalah kiblat pertama umat Islam. Kedua, Palestina dalam hal ini masjidil Aqsa merupakan tempat persinggahan Rasulullah sebelum miraj. Ketiga, Jerusalem adalah tempat suci umat Islam setelah Makkah dan Madinah. Keempat, al-Quds adalah tanah yang diberkahi.

Hal diatas ketika kita lihat dari historis keyakinan kita selaku umat Islam, belum lagi ketika kita membuka nash-nash yang berkaitan tentang keutamaan ukhuwah islamiyah, sebagaimana hadits Rasulullah Saw, yang menyebutkan, “orang-orang mukmin dalam hal saling mencintai, saling mengasihi dan saling menyayangi bagaikan tubuh yang satu, jika satu bahagian yang tersakiti maka bahagian lain akan ikut merasakannya” (HR. Bukhari 6011).

Kemudian, hal lain yang harus kita ketahui disini ialah pembelaan bangsa Indonesia atas Palestina itu bukan hanya berangkat dari faktor historis dan keyakinan saja akan tetapi ini sudah menjadi amanah dari konstitusi dan jelas termaktub pada pembukaan UUD 1945 yang menyebutkan, “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”.

Bung Karno dalam sebuah pidatonya pada HUT RI ke-21 mengatakan, “kita harus bangga bahwa kita adalah satu bangsa yang konsekuen terus, bukan saja berjiwa kemerdekaan, bukan saja berjiwa anti imperialism, tetapi juga konsekuen untuk terus berjuang menentang imperialism”. Perlawanan terhadap penindasan dan penjajahan merupakan satu dari sekian banyaknya kebaikan, maka membiarkan penindasan dan penjajahan adalah kejahatan yang luar biasa.

Ketika kita analisa lebih dalam lagi mengapa kita harus bela Palestina, ada kesamaan nasib antara kita dan bangsa Palestna. Sebagai bangsa yang dulunya pernah dijajah oleh negara-negara asing, kita dapat merasakan begitu sakitnya dijajah dan ditindas. Pada titik inilah kita bertemu dengan Palestina yang hari ini masih dijajah. Kembali mengutip pidato bung Karno, “selama kemerdekaan Palestina belum diserahkan kepada orang-orang Palestina, maka selama itulah Indonesia berdiri menentang penjajahan Israel”.

Last but not least, ada sebuah riwayat yang menarik, kala nabi Ibrahim AS dibakar hidup-hidup oleh raja Namrud. Ditengah api yang begitu marak, tampak seekor burung pipit tengah terbang bolak balik mengambil air dengan paruhnya, lantas burung pipit tersebut meneteskan air tersebut ke api yang tengah bergejolak membakar nabi Ibrahim AS. Di sisi lain cecak justru menertawakan tingkah laku burung pipit tersebut, sembari berucap bahwa apa yang dilakukan oleh burung pipit tak ada gunanya alias sia-sia. Burung pipit tak bergeming sedikitpun, burung pipit hanya mengatakan bahwa kendati apa yang ia lakukan ini tidak mengubah apapun, akan tetapi Allah tahu keberpihakan dari burung pipit tersebut.

Nah, dari riwayat diatas mari kita mengambil iktibarnya, sembari ngopi siang maka renungkan dan bertanyalah ke hati sanubari, ADA PADA POSISI MANA KITA HARI INI? CECAK ATAUKAH BURUNG PIPIT? Jawabannya tentu hanya kembali kepada pribadi kita masing-masing. Mengakhiri tulisan ini, mengutip pernyataan Ali bin Abi Thalib beliau mengatakan, "Orang-orang dzolim akan makin berani bukan karena mereka makin kuat tapi karena diamnya orang-orang baik".
Tabik

MENYOAL HIMNE ACEH

Pasca konflik Aceh-RI ditandai dengan perdamaian antara kedua belah pihak melalui penandatanganan MoU di Helsinki, Finlandia pada tahun 2005. Dalam hal ini oleh Pemerintah RI, Aceh diberi wewenang untuk mengelola daerahnya sendiri. Wujud manifestasi MoU ini ialah dengan diberlakukannya UU Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintah Aceh.

Berangkat dari UU PA diatas, Pemerintah Aceh dengan segala keistimewaan yang diberikan oleh Pemerintah RI untuk menentukan 3 hal penting yang berkaitan dengan keistimewaannya, yaitu: Bendera, Lambang dan Himne. 

Berbicara tentang bendera, lambang dan himne tentu menuai pro kontra dalam tataran realisasinya tidak hanya diinternal rakyat Aceh sendiri bahkan terhadap pemerintah RI, seperti tahun 2013 silam terkait dengan bendera Aceh yang identik sama dengan bendera GAM terlepas dari perdebatan historis tentang penetapan bendera tsb.

Baru-baru ini hal yang menuai pro-kontra adalah tentang sayembara himne Aceh yang diselenggarakan oleh DPR Aceh. Pro-kontra ini terkait dengan penggunaan bahasa dalam lirik himne tersebut. Tanpa tedeng aling-aling DPRA menetapkan bahasa Aceh sebagai bahasa yang dipakai dalam lirik Himne Aceh sebagai bentuk penyeragaman bahasa. Kebijakan ini terkesan menafikan pelbagai suku yang notabenenya adalah penduduk asli Aceh sendiri.

Himne Aceh merupakan sebuah lagu nyanyian untuk mendeskripsikan secara spesifik tentang Aceh. Baik dalam hal kebudayaan dan lainnya tentu harus dengan esensi penjabaran yang yang sangat luas. Segala hal yang mencakup tentang Aceh, kiranya terlampir dalam bait lirik yang indah sebagai wujud rasa syukur keharibaan sang Pencipta. Maka mengetahui dan mempelajari Aceh dengan segala etniknya adalah sebuah kemestian.

Aceh adalah satu dari beberapa provinsi di Indonesia. Secara geografis Aceh terletak di ujung utara pulau Sumatera dan merupakan provinsi paling barat di Indonesia. Sebagai daerah yang memiliki sumber daya alam yang melimpah, Aceh juga dikaruniai panorama yang indah sangat cocok untuk dijadikan destinasi wisata. Selain itu, dari sisi seni dan budaya amatlah beragam di aceh. Ada banyak suku bangsa atau etnik yang mendiami daerah Aceh.

Aceh memiliki 13 suku bangsa asli, terdiri dari suku Aceh sebagai mayoritas yang mendiami wilayah pesisir mulai dari Langsa di pesisir timur utara sampai dengan Trumon di pesisir barat selatan. Suku lainnya adalah suku Gayo yang mendiami wilayah pegunungan di tengah Aceh. Selain itu juga dijumpai suku-suku seperti, Aneuk Jamee di Aceh Selatan, Singkil dan Pakpak di Subulussalam, Alas di Aceh Tenggara, Kluet di Aceh Selatan, Tamiang di Aceh Tamiang, dan Sigulai di Pulau Simeuleu.

Konsekuensi dari keanekaragaman suku bangsa yang mendiami wilayah Aceh ialah adanya keanekaragaman bahasa, seni dan budaya. Soal bahasa misalnya, jadi ada 13 bahasa berbeda-beda yang terdiri dari bahasa Aceh dengan penutur terbanyak, kemudian ada bahasa Gayo, bahasa Alas, bahasa Aneuk jamee, bahasa Singkil, bahasa Pakpak, bahasa Kluet, bahasa Melayu Tamiang, bahasa Sigulai, bahasa Lekon, bahasa Devayan, dan bahasa Haloban.

Penggunaan bahasa Aceh dalam himne Aceh jelas wujud dari diskriminasi terhadap keberagaman yang ada di Aceh. Keberagaman adalah sebuah keniscayaan. Menafikan keberagaman tentu tindakan diskriminatif dan melanggar poin sila ketiga pada Pancasila, yaitu Persatuan Indonesia. Jelas kebijakan ini rentan memicu konflik SARA dan memecah belah persatuan rakyat Aceh. Seharusnya dalam pemilihan bahasa himne Aceh, hendaklah melihat Aceh secara komprehensif. Alasan menentukan bahasa Aceh dalam himne hanya karena suku Aceh adalah mayoritas terkesan mengedepankan primordialisme.

Seandainya penciptaan himne Aceh melalui sayembara yang telah usai dilaksanakan kemarin hanya untuk suku Aceh saja, tentu tidak akan menuai pro-kontra. Ini kan tidak, kegiatan tersebut diperuntukkan untuk seluruh rakyat Aceh, pemenang dari sayembara ini akan diplot lagu ciptaannya sebagai himne Aceh, diskrimatif bukan? Sebagai wakil rakyat yang notabenenya mewakili seluruh rakyat Aceh, DPRA bisa bersikap bijak dengan mengakomodasi seluruh etnik dengan menyiapkan juga sayembara himne Aceh untuk etnik-etnik yang lain. Dengan begitu, Aceh dengan keanekaragamannya memiliki beberapa himne berdasarkan bahasa pelbagai etnik ada didalamnya.

Namun, apabila DPRA tetap jua bersikukuh menciptakan lagu himne Aceh dengan menetapkan bahasa Aceh sebagai bentuk penyeragaman, tidak ada cara lain yang bisa minoritas lakukan selain LAWAN. Bentuk perlawanan kultural adalah cara yang paling efektif untuk melawan tindakan diskriminatif tersebut. Pemberlakuan penggunaan bulang bulu di Aceh Tenggara misalnya ini juga bisa dikategorikan sebagai bentuk perlawanan atas kesewenang-wenangan DPRA, secara tersirat penggunaan bulang bulu menegaskan bahwa SUKU ALAS ADALAH SUKU ALAS SENDIRI DAN JANGAN PAKSAKAN SUKU ALAS MENJADI SUKU ACEH. Salam Pergerakan, panjang umur perlawanan. Budaya te identitas te!! 
Tabik

MELIHAT TALAQQI RUKBAN, HADHIR LI BADIN DAN IHTIKAR DALAM KONTEKS JAMAN NOW

MELIHAT TALAQQI RUKBAN, HADHIR LI BADIN DAN IHTIKAR DALAM KONTEKS JAMAN NOW BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Masalah ...