Oleh:
Hardiansyah Fadli (Wakil Ketua Bidang Pendidikan dan Pengembangan SDM Ikatan Pelajar
dan Mahasiswa Aceh Tenggara Kota Bukittinggi dan Aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia)
Aceh merupakan salah satu
dari beberapa provinsi di Indonesia yang diberi wewenang khusus untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakatnya sesuai dengan
amanah UU Pemerintahan Aceh No. 11 Tahun 2006. UU ini dibuat sebagai pengganti
UU otonomi khusus dan hasil kesepakatan damai antara Pemerintah RI dan Gerakan
Aceh Merdeka, yang dikenal dengan MoU Helsinki.
Beberapa topik yang
dibahas padaUndang-Undang tersebut adalah; Pertama, pemberlakuan Syariat Islam
sebagai tradisi dan norma yang melekat pada diri masyarakat Aceh. Kedua,
pengelolaan bersama sumber daya alam berupa minyak dan gas oleh Pemerintah RI
dan Aceh. Ketiga, dibolehkannya pendirian partai politik lokal.
Berangkat dari poin pertama
pada topik bahasan UU Pemerintahan Aceh yakni pemberlakuan Syariat Islam
sebagai tradisi dan norma yang melekat pada rakyat Aceh meliputi aspek aqidah,
syariah dan akhlak. Hal ini bertujuan untuk melindungi agama, jiwa, harta,
akal, kehormatan, harkat, nasab, masyarakat dan lingkungan hidup. Tentunya pada
tataran pelaksanaan Syariat Islam ini dilakukan secara terpadu dan terkonsolidasi
pada setiap tingkatan pemerintahan yang ada di Aceh di bawah arahan dari Wali Nanggroe.
Adapun ,maksud dari terpadu
dan terkonsolidasi diatas adalah pelaksanaan Syariat Islam tersebut berdasarkan
prinsip al-maqasid al-syariah, hikmah al-tasyri’, kaedah fiqh kulliah,
kaedah ushulliyah dan prinsip-prinsip
syariat dengan mengedepankan kemaslahatan dan kerukunan serta menghindari kemudhoratan.
Kemajemukan
Aceh Tenggara
Aceh Tenggara adalah satu
dari beberapa kabupaten/kota yang ada di provinsi Aceh. Kondisi masyarakat di
daerah tersebut lebih multikultural dibandingkan Aceh Bagian Tengah (Aceh
Tengah, Bener Meriah, dan GayoLues) yakni didiami lebih dari 3 suku yaitu:
Alas, sebagai suku tempatan diikuti oleh suku-suku pendatang seperti Singkil,
Aceh, Batak Toba, Karo, Gayo, Jawa, Minangkabau, Mandailing, Nias dan suku Aneuk
Jamee.
Aceh Tenggara ini sangat
unik, karena memiliki masyarakat yang majemuk tetapi hampir tidak ada terdengar
sama sekali kerusuhan yang melibatkan SARA. Bagi masyarakat Aceh Tenggara
dengan suku alas sebagai masyarakat pribumi senantiasa memegang teguh mantra
ajaib yang diwariskan turun-temurun oleh pedahulunya yakni, sepakat segenep
kite kekhine. Tentunya ungkapan di atas sejatinya tersimpan nilai-nilai persatuan
dengan berlandaskan pada musyawarah dan mufakat. Keragaman ini tentunya merupakan
modal penting bagi Aceh Tenggara, namun dibalik semua itu tersimpan sumber konflik
yang besar kalau sewaktu-waktu ada sekelompok orang yang memicunya.
Meneropong
Patung Kampung Nangka dari Norma Hukum, Adat, Etika dan Agama
Selaku warga Negara
yang hidup di Indonesia tentu memegang teguh norma-norma yang berlaku di
Indonesia. Kita bisa bayangkan keadaan dimana norma-norma diabaikan maka akan menimbulkan
kebingungan dimana-mana. Hadirnya norma-norma ditengah masyarakat tentu sebagai
nilai-nilai yang diyakini kebenarannya dengan tujuan dijadikan sebuah pedoman dalam
membentuk tatanan masyarakat.
Belakangan ini masyarakat
Aceh Tenggara dihadapkan dengan persoalan yang cukup pelik dan ini bisa menjadi
sumber konflik yang besar kalau tidak segera ditangani. Permasalahan yang
muncul adalah terkait tentang pendirian monumen berupa patung manusia di
Kampung Nangka oleh salah satu keluarga yang kebetulan beragama Kristen. Konon kabarnya,
pembuatan monumen ini bertujuan sebagai bentuk penghormatan sang anak terhadap jasa
orang tua mereka yang telah mengenalkan pendidikan pada anak-anaknya.
Hal ini menuai
pro-kontra ditengah-tengah masyarakat terkhusus masyarakat muslim. Bagi masyarakat
muslim, pendirian monumen ini bertentangan dengan norma-norma hukum yang
berlaku di tanah Alas. Aceh Tenggara yang notabenenya merupakan bahagian dari Aceh
dengan menerapkan syariat Islam secara kaffah maka hal-hal yang bertentangan dengan
syariat itu tidak diperbolehkan untuk dilakukan.
Berbicara tentang patung
bagi masyarakat muslim ini sudah masuk dalam ranah aqidah yang tidak bisa ditolerir.
Didalam keyakinan masyarakat muslim, persoalan patung ini identik dengan berhala.
Ada banyak nash-nash dalam al-quran maupun hadist yang melarang pembuatan patung
yang menyerupai makhluk hidup. Ini pun dipertegas oleh Fatwa Majelis Permusyawaratan
Ulama Aceh Nomor 12 Tahun 2013 Tentang Seni Budaya dan Hiburan Lainnya Dalam Pandangan
Syariat Islam.
Di sisi lain dalam
bingkai bernegara, bukan berarti rakyat Aceh tidak melindungi atau mengakui
hak-hak kaum minoritas. Seharusnya bagi mereka yang telah memahami bahwa Aceh
adalah provinsi yang berbeda dengan provinsi-provinsi lainnya di Indonesia
sebagaimana yang telah kita singgung di atas, seharusnya tunduk pada
ketentuan-ketentuan yang berlaku di tanah Aceh terkhusus tanah Alas Aceh Tenggara.
Berangkat dari hal diatas
tentunya Pemerintah dalam hal ini harus peka terhadap setiap persoalan-persoalan
yang muncul ditengah masyarakat, apalagi yang berkaitan dengan hal aqidah. Pemerintah
dalam hal kebijakannya tentu harus menjaga aqidah masyarakatnya supaya terciptanya
kenyamanan dan keamanan dalam hal peribadatan. Persoalan patung di kampung
nangka misalnya, Pemerintah harus sigap membaca persoalan ini. Jangan terlalu
lama dalam mengambil keputusan.
Padahal beberapa qanun-qanun
sudah menegaskan peranan dari pemerintah dalam menjaga aqidah umat, seperti; Qanun
Aceh Nomor 8 Tahun 2014 Tentang Pokok-Pokok Syariat Islam Bab V berkaitan dengan
Aqidah pasal 11 ayat 3 menjelaskan, “Pemerintah Aceh dan Pemerintahan Kabupaten/Kota
bersama-sama dengan masyarakat berkewajiban menanam, membina dan memperkokoh aqidah
pada setiap muslim sejak dini. Kemudian pada Pasal 12, Qanun ini kembali menegaskan
bahwa, “Pemerintahan Aceh dan Pemerintahan Kabupaten/Kota bertanggung jawab melakukan
perlindungan, dan pengawasan terhadap aqidah umat.
Kemudian Qanun Aceh
Nomor 8Tahun 2015 Tentang Pembinaan dan Perlindungan Aqidah Bab I Ketentuan Umum
pasal 2 menyebutkan, ruang lingkup pembinaan dan perlindungan aqidah adalah segala
kegiatan, perbuatan, dan keadaan yang mengarah kepada upaya membina dan melindungi
aqidah”.
Last but not least, menurut
penulis dalam hal ini kita tidak perlu lagi berdialektika tentang fenomena patung
ini dengan berbagai macam argumentasi yang disampaikan oleh mereka yang pro
dengan patung ini ataupun orang-orang yang terkesan acuh tak acuh dengan masalah
ini. Seharusnya sebagai warga Negara yang baik, kita dituntut untuk patuh
terhadap norma-norma yang berlaku pada daerah tertentu sebagaimana kearifan local
menyebutkan, “dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung”.
Ketika Aceh dengan segala
keistimewaan yang ada padanya memberlakukan Syariat Islam konsekuensinya bagi
kita pemeluk agama Islam wajib menaati peraturan-peraturan yang ada sedangkan bagi
pemeluk agama lain menghormati pemeluk agama Islam sebagai wujud toleransi umat
beragama dengan tujuan menciptakan kerukunan antarumat beragama.
Akhirul kalam, Gus Dur dalam
pelbagai seminar-seminar dan tulisan-tulisan ketika berbicara tentang peranan pemerintah
ditengah masyarakat senantiasa mengutip kaedah fiqh yang menyebutkan bahwa “tashorruful imam ‘alaar-roiyyah manuthun bil mashlahah (kebijakan yang diambil seorang
pemimpin harus berbasis kemaslahatan)”.
Apabila kita kaitkan dengan
persoalan yang ada hari iniditengah-tengah masyarakat Aceh Tenggara tentang
monumen yang didirikan oleh individu tertentu, maka Pemerintah Aceh Tenggara
harus segera mengambil keputusan yang mengedepankan prinsip keadilan yang
tentunya tidak melukai perasaan umat Islam yang notabenenya mereka menjalankan Syariat
Islam sebagai wujud kepatuhan mereka terhadap norma-norma hukum yang berlaku.
Jika hal ini diabaikan oleh Pemerintah, dikhawatirkan memicu perpecahan dan pertikaian
ditengah-tengah masyarakat.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar