Jumat, 29 Desember 2017

PERKARA PATUNG: MEMPERTANYAKAN SIKAP PEMERINTAH DAERAH ACEH TENGGARA

Oleh: Hardiansyah Fadli (Wakil Ketua Bidang Pendidikan dan Pengembangan SDM Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Aceh Tenggara Kota Bukittinggi dan Aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia)

Aceh merupakan salah satu dari beberapa provinsi di Indonesia yang diberi wewenang khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakatnya sesuai dengan amanah UU Pemerintahan Aceh No. 11 Tahun 2006. UU ini dibuat sebagai pengganti UU otonomi khusus dan hasil kesepakatan damai antara Pemerintah RI dan Gerakan Aceh Merdeka, yang dikenal dengan MoU Helsinki.

Beberapa topik yang dibahas padaUndang-Undang tersebut adalah; Pertama, pemberlakuan Syariat Islam sebagai tradisi dan norma yang melekat pada diri masyarakat Aceh. Kedua, pengelolaan bersama sumber daya alam berupa minyak dan gas oleh Pemerintah RI dan Aceh. Ketiga, dibolehkannya pendirian partai politik lokal.

Berangkat dari poin pertama pada topik bahasan UU Pemerintahan Aceh yakni pemberlakuan Syariat Islam sebagai tradisi dan norma yang melekat pada rakyat Aceh meliputi aspek aqidah, syariah dan akhlak. Hal ini bertujuan untuk melindungi agama, jiwa, harta, akal, kehormatan, harkat, nasab, masyarakat dan lingkungan hidup. Tentunya pada tataran pelaksanaan Syariat Islam ini dilakukan secara terpadu dan terkonsolidasi pada setiap tingkatan pemerintahan yang ada di Aceh di bawah arahan dari Wali Nanggroe.

Adapun ,maksud dari terpadu dan terkonsolidasi diatas adalah pelaksanaan Syariat Islam tersebut berdasarkan prinsip al-maqasid al-syariah, hikmah al-tasyri’, kaedah fiqh kulliah, kaedah ushulliyah dan prinsip-prinsip syariat dengan mengedepankan kemaslahatan dan kerukunan serta menghindari kemudhoratan.

Kemajemukan Aceh Tenggara

Aceh Tenggara adalah satu dari beberapa kabupaten/kota yang ada di provinsi Aceh. Kondisi masyarakat di daerah tersebut lebih multikultural dibandingkan Aceh Bagian Tengah (Aceh Tengah, Bener Meriah, dan GayoLues) yakni didiami lebih dari 3 suku yaitu: Alas, sebagai suku tempatan diikuti oleh suku-suku pendatang seperti Singkil, Aceh, Batak Toba, Karo, Gayo, Jawa, Minangkabau, Mandailing, Nias dan suku Aneuk Jamee.

Aceh Tenggara ini sangat unik, karena memiliki masyarakat yang majemuk tetapi hampir tidak ada terdengar sama sekali kerusuhan yang melibatkan SARA. Bagi masyarakat Aceh Tenggara dengan suku alas sebagai masyarakat pribumi senantiasa memegang teguh mantra ajaib yang diwariskan turun-temurun oleh pedahulunya yakni, sepakat segenep kite kekhine. Tentunya ungkapan di atas sejatinya tersimpan nilai-nilai persatuan dengan berlandaskan pada musyawarah dan mufakat. Keragaman ini tentunya merupakan modal penting bagi Aceh Tenggara, namun dibalik semua itu tersimpan sumber konflik yang besar kalau sewaktu-waktu ada sekelompok orang yang memicunya.

Meneropong Patung Kampung Nangka dari Norma Hukum, Adat, Etika dan Agama

Selaku warga Negara yang hidup di Indonesia tentu memegang teguh norma-norma yang berlaku di Indonesia. Kita bisa bayangkan keadaan dimana norma-norma diabaikan maka akan menimbulkan kebingungan dimana-mana. Hadirnya norma-norma ditengah masyarakat tentu sebagai nilai-nilai yang diyakini kebenarannya dengan tujuan dijadikan sebuah pedoman dalam membentuk tatanan masyarakat.

Belakangan ini masyarakat Aceh Tenggara dihadapkan dengan persoalan yang cukup pelik dan ini bisa menjadi sumber konflik yang besar kalau tidak segera ditangani. Permasalahan yang muncul adalah terkait tentang pendirian monumen berupa patung manusia di Kampung Nangka oleh salah satu keluarga yang kebetulan beragama Kristen. Konon kabarnya, pembuatan monumen ini bertujuan sebagai bentuk penghormatan sang anak terhadap jasa orang tua mereka yang telah mengenalkan pendidikan pada anak-anaknya.

Hal ini menuai pro-kontra ditengah-tengah masyarakat terkhusus masyarakat muslim. Bagi masyarakat muslim, pendirian monumen ini bertentangan dengan norma-norma hukum yang berlaku di tanah Alas. Aceh Tenggara yang notabenenya merupakan bahagian dari Aceh dengan menerapkan syariat Islam secara kaffah maka hal-hal yang bertentangan dengan syariat itu tidak diperbolehkan untuk dilakukan.

Berbicara tentang patung bagi masyarakat muslim ini sudah masuk dalam ranah aqidah yang tidak bisa ditolerir. Didalam keyakinan masyarakat muslim, persoalan patung ini identik dengan berhala. Ada banyak nash-nash dalam al-quran maupun hadist yang melarang pembuatan patung yang menyerupai makhluk hidup. Ini pun dipertegas oleh Fatwa Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh Nomor 12 Tahun 2013 Tentang Seni Budaya dan Hiburan Lainnya Dalam Pandangan Syariat Islam.

Di sisi lain dalam bingkai bernegara, bukan berarti rakyat Aceh tidak melindungi atau mengakui hak-hak kaum minoritas. Seharusnya bagi mereka yang telah memahami bahwa Aceh adalah provinsi yang berbeda dengan provinsi-provinsi lainnya di Indonesia sebagaimana yang telah kita singgung di atas, seharusnya tunduk pada ketentuan-ketentuan yang berlaku di tanah Aceh terkhusus tanah Alas Aceh Tenggara.

Berangkat dari hal diatas tentunya Pemerintah dalam hal ini harus peka terhadap setiap persoalan-persoalan yang muncul ditengah masyarakat, apalagi yang berkaitan dengan hal aqidah. Pemerintah dalam hal kebijakannya tentu harus menjaga aqidah masyarakatnya supaya terciptanya kenyamanan dan keamanan dalam hal peribadatan. Persoalan patung di kampung nangka misalnya, Pemerintah harus sigap membaca persoalan ini. Jangan terlalu lama dalam mengambil keputusan.

Padahal beberapa qanun-qanun sudah menegaskan peranan dari pemerintah dalam menjaga aqidah umat, seperti; Qanun Aceh Nomor 8 Tahun 2014 Tentang Pokok-Pokok Syariat Islam Bab V berkaitan dengan Aqidah pasal 11 ayat 3 menjelaskan, “Pemerintah Aceh dan Pemerintahan Kabupaten/Kota bersama-sama dengan masyarakat berkewajiban menanam, membina dan memperkokoh aqidah pada setiap muslim sejak dini. Kemudian pada Pasal 12, Qanun ini kembali menegaskan bahwa, “Pemerintahan Aceh dan Pemerintahan Kabupaten/Kota bertanggung jawab melakukan perlindungan, dan pengawasan terhadap aqidah umat.

Kemudian Qanun Aceh Nomor 8Tahun 2015 Tentang Pembinaan dan Perlindungan Aqidah Bab I Ketentuan Umum pasal 2 menyebutkan, ruang lingkup pembinaan dan perlindungan aqidah adalah segala kegiatan, perbuatan, dan keadaan yang mengarah kepada upaya membina dan melindungi aqidah”.

Last but not least, menurut penulis dalam hal ini kita tidak perlu lagi berdialektika tentang fenomena patung ini dengan berbagai macam argumentasi yang disampaikan oleh mereka yang pro dengan patung ini ataupun orang-orang yang terkesan acuh tak acuh dengan masalah ini. Seharusnya sebagai warga Negara yang baik, kita dituntut untuk patuh terhadap norma-norma yang berlaku pada daerah tertentu sebagaimana kearifan local menyebutkan, “dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung”.

Ketika Aceh dengan segala keistimewaan yang ada padanya memberlakukan Syariat Islam konsekuensinya bagi kita pemeluk agama Islam wajib menaati peraturan-peraturan yang ada sedangkan bagi pemeluk agama lain menghormati pemeluk agama Islam sebagai wujud toleransi umat beragama dengan tujuan menciptakan kerukunan antarumat beragama.

Akhirul kalam, Gus Dur dalam pelbagai seminar-seminar dan tulisan-tulisan ketika berbicara tentang peranan pemerintah ditengah masyarakat senantiasa mengutip kaedah fiqh yang menyebutkan bahwa “tashorruful imamalaar-roiyyah manuthun bil mashlahah (kebijakan yang diambil seorang pemimpin harus berbasis kemaslahatan)”.

Apabila kita kaitkan dengan persoalan yang ada hari iniditengah-tengah masyarakat Aceh Tenggara tentang monumen yang didirikan oleh individu tertentu, maka Pemerintah Aceh Tenggara harus segera mengambil keputusan yang mengedepankan prinsip keadilan yang tentunya tidak melukai perasaan umat Islam yang notabenenya mereka menjalankan Syariat Islam sebagai wujud kepatuhan mereka terhadap norma-norma hukum yang berlaku. Jika hal ini diabaikan oleh Pemerintah, dikhawatirkan memicu perpecahan dan pertikaian ditengah-tengah masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MELIHAT TALAQQI RUKBAN, HADHIR LI BADIN DAN IHTIKAR DALAM KONTEKS JAMAN NOW

MELIHAT TALAQQI RUKBAN, HADHIR LI BADIN DAN IHTIKAR DALAM KONTEKS JAMAN NOW BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Masalah ...