Selasa, 23 Januari 2018

MELIHAT TALAQQI RUKBAN, HADHIR LI BADIN DAN IHTIKAR DALAM KONTEKS JAMAN NOW

MELIHAT TALAQQI RUKBAN, HADHIR LI BADIN DAN IHTIKAR DALAM KONTEKS JAMAN NOW


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah

Berbicara tentang permasalahan ekonomi, Islam menjadikan permasalahan ekonomi sebagai salah satu hal yang sangat fundamental bagi umat Islam. Maka dari itu, tidak sedikit umat Islam pada masa lampau yang bergelut dalam permasalahan tersebut. Perlu diingat pula bahwa Islam pada sekitar empat abad (ke-8, ke-9, ke-10, ke-11) lamanya menjadi penguasa di belahan dunia ini. Hal itu bisa terjadi karena umat Islam mendapat dukungan sektor ekonomi yang sangat besar (Wahyuni, 2010: 159-160).
Dalam sejarah tercatat bahwa negara Islam pada masa itu menjadi transit perdagangan internasional sebelum barang-barang dagangan diekspor ke wilayah-wilayah Eropa dan sekitarnya. Namun, sayangnya umat Islam pada masa-masa berikutnya malah tertindas, bahkan dijajah oleh bangsa-bangsa Barat. Permasalahan tersebut diduga oleh para pengamat akibat kurangnya perhatian para tokoh agama dalam masalah itu. Perhatian mereka lebih banyak terfokus kepada masalah-masalah ibadat saja. Akibatnya, dari banyak negara Islam di dunia pada umumnya tergolong negara miskin (Wahyuni, 2010: 159-160).
Beranjak dari historis di atas, sebenarnya Islam sangat memotivasi umatnya untuk berusaha mendapatkan kehidupan yang baik di dunia maupun di akhirat agar dapat tercapai kesejahteraan lahir dan batin. Karenanya tidak berlebihan jika agama Islam juga dapat dikatakan sebagai agama pemberdayaan, yang berupaya memberdayakan pemeluknya untuk dapat hidup yang seimbang antara kebutuhan duniawi dan ukhrawi. Untuk memperolehnya, perlu adanya pemberdayaan yang sejalan dengan paradigma Islam sendiri sebagai agama gerakan atau perubahan, bahkan sebagai kekuatan pembebas (liberating force) terutama dari ketertinggalan dan ketertindasan ekonomi.
Amat wajar apabila dalam pelbagai aktivitas perekonomian, umat Islam diatur sedemikian rupa dengan tujuan agar setiap kegiatan tersebut tidak keluar dari koridor yang berlaku di dalam Islam. Maka dalam bermuamalah berlakulah sebuah kaidah yang mengatakan:
الأَصْلُ فِى اْلأَشْيَاءِ اْلإِ بَا حَة حَتَّى يَدُ لَّ اْلدَّلِيْلُ عَلَى التَّحْرِيْمِ
Artinya:“hukum asal dari sesuatu (muamalah) adalah mubah sampai ada dalil yang melarangnya (memakruhkannya atau mengharamkannya). (Suyuthi, 1996: 86)

Kaidah fiqih dalam muamalah di atas memberikan arti bahwa dalam aktivitas bermuamalah, manusia diberikan kebebasan sebebas-bebasnya untuk melakukan apa saja yang bisa memberikan manfaat kepada dirinya sendiri, sesamanya dan lingkungannya, selama hal tersebut tidak ada ketentuan yang melarangnya. Kaidah ini didasarkan pada Hadist Rasulullah yang berbunyi: “antum a’alamu biumurid dunyakum” (kamu lebih tahu atas urusan duniamu). Bahwa dalam urusan kehidupan dunia yang penuh dengan perubahan atas ruang dan waktu, Islam memberikan kebebasan mutlak kepada manusia untuk menentukan jalan hidupnya, tanpa memberikan aturan-aturan kaku yang bersifat dogmatis. Hal ini memberikan dampak bahwa Islam menjunjung tinggi asas kreativitas pada umatnya untuk bisa mengembangkan potensinya dalam mengelola kehidupan ini, khususnya berkenaan dengan fungsi manusia sebagai khalifatullah filardh (wakil Allah di bumi).
Efek yang timbul dari kaidah fiqih muamalah di atas adalah adanya ruang lingkup yang sangat luas dalam penetapan hukum-hukum muamalah, termasuk juga hukum ekonomi. Ini berarti suatu transaksi baru yang muncul dalam fenomena kontemporer yang dalam sejarah Islam belum ada/dikenal, maka transaksi tersebut “dianggap” diperbolehkan, selama transaksi tersebut tidak melanggar prinsip-prinsip yang dilarang dalam Islam.
Fenomena hari ini adalah banyaknya umat Islam justru terjebak dalam transaksi-transaksi yang terlarang dalam Islam, seperti riba, ihtikar, talaqqi rukban, dll.Berangkat dari hal di atas penulis akan membahas tentang aktivitas muamalah yang terlarang didalam Islam yakni, Talaqqi Rukban, al-Hadhir li Badin, dan ihtikar.
B.     Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari makalah ini adalah:
1.      Apa itu Talaqqi Rukban, al-Hadhir li Badin, dan ihtikar?
2.      Apa dalil hukum Talaqqi Rukban, al-Hadhir li Badin, dan ihtikar?
3.      Bagaimana Pemahaman Hadits Talaqqi Rukban, al-Hadhir li Badin, dan ihtikar?
4.      Bagaimana aktivitas Talaqqi Rukban, al-Hadhir li Badin, dan ihtikar dalam konteks hari ini?



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Talaqqi Rukban dan Hadhir li Badin
1.      Pengertian
Disebut juga Taqqi as-Silai', suatu peristilahan dalam fiqh muamalah yang menggambarkan proses pembelian komoditi/barang dengan cara mencegat orang desa (kafilah), yang membawa barang dagangannya (hasil pertanian, seperti: beras, jagung, dan gula) sebelum sampai di pasar agar ia dapat membeli barang di bawah harga yang berlaku di pasar. Praktik ini dapat mendatangkan kerugian bagi orang desa yang belum mengetahui/buta dengan harga yang berlaku di pasar. (Asyari, 2003: 100)
Sedangkan Hadhir li Badin adalah berasal dari Perkataan حَاضِرٌ itu maksudnya “pedagang kota” dan باَ دٍ  maksudnya pedagang desa.يَبِيعَ  Bermakna menjual dan membeli. Ibn Hubaib al-Maliki berkata, “Membeli untuk orang dusun sama dengan menjual untuknya, berdasarkan sabda rasulullah Saw: (Janganlah sebagian kalian membeli apa yang sedang dibeli oleh orang lain). Pada lafadz ini digunakan lafadz bai’(menjual), tetapi maksudnya adalah shira’(membeli) (al-‘Asqalani, 2013: XII/271)
2.      Dalil Hukum Talaqqi Rukban dan Hadhir li Badin
a.       Al-Quran
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَأۡكُلُوٓاْ أَمۡوَٰلَكُم بَيۡنَكُم بِٱلۡبَٰطِلِ إِلَّآ أَن تَكُونَ تِجَٰرَةً عَن تَرَاضٖ مِّنكُمۡۚ وَلَا تَقۡتُلُوٓاْ أَنفُسَكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِكُمۡ رَحِيمٗا ٢٩
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu (Q.S. An-Nisa: 29).
عَنْ عَبْدُ الله بْنِ عَبَّا س رضي الله عنهما قال: نهى رسول الله صلى الله عليه وعليه وسلم أن تتلقى الركبا ن، وأن يبيع حضر لبا د. قال: فقلت: لاابن عبا س ما قوله: حضر لبا د؟ قل: لايكون له سمسا راز.


Artinya: “Dari Abdullah bin Abbas ra berkata, Nabi SAW pernah bersabda: Janganlah kalian menjemput/menyambut kafilah dagang dan janganlah orang kota membeli barang dagangan orang desa. Lalu aku bertanya pada Ibn Abbas apa yang dimaksud tidak boleh membeli barang dari orang desa? Ia berkata dalam jual-beli tidak ada simsar. (Abdullah, 2010: 711).
3.      Pemahaman Ayat dan Hadits
a.       Tafsir An-Nisa: 29
Allah Swt. melarang hamba-hamba-Nya yang beriman memakan harta sebagian dari mereka atas sebagian yang lain dengan cara yang batil, yakni melalui usaha yang tidak diakui oleh syariat, seperti dengan cara riba dan judi serta cara-cara lainnya yang termasuk ke dalam kategori tersebut dengan menggunakan berbagai macam tipuan dan pengelabuan. Sekalipun pada lahiriahnya cara-cara tersebut memakai cara yang diakui oleh hukum syara', tetapi Allah lebih mengetahui bahwa sesungguhnya para pelakunya hanyalah semata-mata menjalankan riba, tetapi dengan cara hailah (tipu muslihat). Demikianlah yang terjadi pada kebanyakannya (Katsir, 2005: II/279). 
Hingga Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ibnul Musanna, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab, telah menceritakan kepada kami Daud, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan seorang lelaki yang membeli dari lelaki lain sebuah pakaian. Lalu lelaki pertama mengatakan, "Jika aku suka, maka aku akan mengambilnya, dan jika aku tidak suka, maka akan ku kembalikan berikut dengan satu dirham." Ibnu Abbas mengatakan bahwa hal inilah yang disebutkan oleh Allah Swt. di dalam firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman. janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian dengan jalan yang batil. (An-Nisa: 29) (Katsir, 2005: II/279).
Jadi segala bentuk kegiatan manusia dalam bermuamalah dengan cara yang bathil dilarang berdasarkan dalil surat an-Nisa: 29 beserta tafsiran yang dikemukakan oleh Ibnu Katsir dalam kitab Tafsirnya.

b.      Tafsir Hadits
Talaqqi Rukban maksudnya adalah menghadang rombongan pedagang atau orang yang membawa bahan makanan ke suatu negeri untuk dijual, baik berkendaraan ataupun berjalan kaki, baik beramai-ramai atau sendirian. Dalam hadits disebutkan yang umum, karena umumnya pedagang itu berombongan. Transaksi dianggap Talaqqi Rukban jika terjadi luar pasar (Ash-Shan’ani, 2010: 356).
Ibnu Hajar al-Asqalani (2004: 40) dalam kitabnya Ibanatul Ahkam Syarhu Bulughul Maram Qismu al-Muamalah  menerangkan tentang hadits ini dengan mengatakan bahwa seseorang yang membawa barang dagangan dari daerah lain, dengan alasan adanya perbedaan harga barang dagangan di dua daerah tersebut, atau banyaknya permintaan pasar di daerah yang akan di datangi. Kemudian penduduk asli daerah tersebut menyambut mereka dengan tujuan untuk membeli barang dagangan tersebut dengan harga yang lebih rendah dari harga ketika masuk ke pasar, demi memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya dengan tidak memberitahukan harga yang sedang berlaku.
Larangan di atas jelas menunjukkan perbuatan itu haram, karena orang yang melakukannya memang sengaja bermaksud menghadang rombongan dagang dan tahu kalau hal itu dilarang. Abu Hanifah dan al-Auza’I membolehkan melakukan hal itu selagi tidak merugikan masyarakat, bila merugikan, maka hal tersebut makruh. Dan apabila dilakukan juga, maka menurut al-Hadawiyah dan As-Syafi’iyah transaksi itu tetap sah. Dan Imam asy-Syafi’I memberikan hak pilih bagi si penjual, berdasarkan hadis yang dikeluarkan Abu Dawud dan at- Tirmidzi dan dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah, yaitu hadis Abu Hurairah yang artinya: “Jangan kalian menghadang rombongan pedagang, apabila seseorang menghadangnya kemudian membeli sesuatu darinya, maka pedagang mempunyai hak pilih (khiyar) bila tiba di pasar” (Ash-Shan’ani, 2010: 357).
Dzahir hadis menunjukkan bahwa ‘illat (alasan) dilarangnya hal tersebut adalah untuk kemaslahatan penjual dan menghindarinya dari kerugian. Ada yang mengatakan alasannya adalah untuk kemaslahatan komunitas pasar berdasarkan hadis Ibnu Umar, “Janganlah kalian menghadang barang dagangan hingga kalian tiba di pasar dengannya.” (Ash-Shan’ani, 2010: 357).
Sebagian ulama menjadikan talaqqi rukban haram dengan beberapa syarat, diantaranya ada yang mengatakan ia haram jika orang yang menghadang berbohong mengenai harga yang berlaku di kota hingga dia membeli dari rombongan penjual dengan harga yang jauh lebih murah dari harga semestinya. Ada juga yang menyatakan ia haram jika si pembeli mengabari rombongan itu bahwa untuk bisa masuk pasar diperlukan biaya sangat besar. Ada lagi yang mengatakan haram apabila si pembeli menipu mereka dengan mengatakan bahwa dagangan mereka tidak akan laku. Semua syarat yang disebutkan tidak dilandasi satu dalilpun, justru hadis tersebut berbicara secara mutlak dan hukum aslinya adalah haram (Ash-Shan’ani, 2010: 357).
Begitu juga dengan penafsiran Hadhir li Badin Hadis tersebut menunjukkan, bahwa penduduk kota tidak boleh menjual kepada penduduk desa, tanpa dibedakan apakah desa itu jauh atau dekat, dan juga tidak dibedakan apakah diwaktu harga mahal atau tidak, baik diwaktu penduduk kota memerlukan barang itu ataupun tidak, baik menjual secara bertahap atau sekaligus (Faishal, 1993: 1683).
(Janganlah dia menjadi makelar baginya). Kata “simsar” asal maknanya adalah “orang menilai suatu urusan dan mengawasinya” kemudian dikenal dengan istilah perantara jual beli bagi orang lain dengan upah sebagai imbalan (Ash-Sha’ani, 2010: 358). Penafsiran Ibnu Abbas ini sekaligus merupakan sanggahan bagi mereka yang mengatakan bahwa hadis tersebut bermakna larangan bagi orang kota menjual sesuatu kepada orang dusun disaat barang tersebut sangat langka dan dibutuhkan oleh penduduk kota. Pemahaman demikian tercantum dalam kitab-kitab madzhab Hanafi (al-‘Asqalani, 2013: 266).
Imam Bukhari berpendapat dilarangnya orang kota menjadi makelar bagi orang dusun karena mengharapkan upah, Adapun bagi yang menasehatinya dengan memberitahukan bahwa harga barang ini adalah sekian, maka menurutnya tidak masuk dalam cakupan larangan tersebut (al-‘Asqalani, 2013: 266). Tetapi zhahir pendapat para ulama mengisyaratkan bahwa larangan tadi mencakup semuanya, baik yang dengan imbalan maupun tidak (Ash-Shan’ani, 2010: 357).
Madzhab Syafi’i dan Hanbali berpendapat bahwa yang dimaksud dengan “orang kota menjualkan barang dagangan orang kampung” adalah transaksi dimana seorang asing mendatangi suatu negeri dengan membawa barang dan berkeinginan menjualnya dengan harga pasaran saat itu. Lalu penduduk negeri itu mendatanginya dan berkata kepadanya, “Simpanlah barang itu padaku agar aku dapat menjualnya secara eceran dengan harga yang lebih mahal dari harga pasaran”. Dalam hal ini mereka menjadikan hukum terkait dengan orang dusun serta orang-orang yang bersekutu dengannya dari segi makna (al-‘Asqalani, 2013: 266-267).
Lebih lanjut, mereka berpendapat bahwa penyebutan ‘orang dusun’ pada hadis itu dikarenakan umumnya mereka tidak mengetahui harga pasaran. Oleh sebab itu orang-orang yang tidak mengetahui harga pasaran juga termasuk dalam kelompok mereka. Larangan ini juga bertujuan melindungi penduduk kota agar sebagian orang tidak menyarankan kepada orang dusun untuk tidak bersegera menjual barangnya (al-‘Asqalani, 2013: 267).
Para ulama madzhab Maliki mengaitkan larangan tersebut dengan ‘orang dusun’ secara khusus. Namun dinukil pula dari Imam Malik bahwa tidak diikutkan dengan orang dusun dalam hukum tersebut kecuali orang yang menyerupainya. Dia berkata, “Adapun orang-orang dusun yang mengetahui harga barang dan pasar, maka mereka tidak masuk dalam cakupan hadis di atas (al-‘Asqalani, 2013: 267).
Kemudian terdapat pula pendapat yang meletakkan syarat, yakni bahwa si pembeli tahu bahwa transaksi itu dilarang dan bahwa barang dagangan yang dibawa orang desa tadi adalah termasuk barang yang banyak dibutuhkan orang. Dan bahwa yang menewarkan lebih dulu adalah orang kota kepada orang desa. Dan jika orang desa yang justru menawarkannya ke orang kota, maka tidak dilarang. Semua ketentuan-ketentuan tersebut tidak di dukung oleh hadis, mereka hanya menyimpulkan dari sekian banyak ‘Illat (alasan hukum) yang terdapat dalam hadis yang digunakan sebagai hukum. Kemudian telah sama-sama dipahami bahwa larangan asalnya adalah haram, ini adalah pendapat yang diyakini oleh sekelompok ulama (Ash-Shan’ani, 2010: 358).
4.      Analisis Talaqqi Rukban dan Hadhir li Badin
Praktik transaksi ini secara konkrit adalah seorang penjual datang ke pasar dan pembeli menghadangnya sebelum penjual sampai ke pasar. Kemudian pembeli tersebut membeli barang dagangannya dengan harga dibawah standar pasar karena penjual tidak tahu harga standar yang berlaku di pasar (Tayyar: 2009: 52).
Transaksi ini dilarang karena mengandung dua hal : pertama, rekayasa penawaran yaitu mencegah masuknya barang ke pasar (entry barrier), kedua, mencegah penjual dari luar kota untuk mengetahui harga pasar yang berlaku.
Adanya pelarangan ini dikarenakan adanya unsur ke-tidakadilan atas tindakan yang dilakukan oleh pedagang kota yang tidak menginformasikan harga yang sesungguhnya terjadi di pasar. Mencari barang dengan harga lebih murah tidaklah dilarang, namun apabila transaksi jual-beli antara dua pihak dimana yang satu memiliki informasi yang lengkap sementara pihak lain tidak tahu berapa harga di pasar yang sesungguhnya, ini sangatlah tidak adil dan merugikan salah satu pihak
Praktik-praktik perdagangan tersebut di atas, agaknya bertentangan dengan prinsip ekonomi Islam yang menekankan pada unsur akidah, syariah dan moral. Ekonomi islam sendiri, menurut Umar Capra didefinisikan sebagai suatu cabang pengetahuan yang membantu merealisasikan kesejahteraan manusia melalui alokasi dan distribusi sumber-sumber daya langka yang seirama dengan maqasid syariah (tujuan syariat islam), tanpa mengekang kebebasan individu, tanpa menciptakan ketidakseimbangan makro ekonomi dan krisis ekologi yang berkepanjangan atau tanpa melemahkan solidaritas keluarga dan sosial serta jaringan moral masyarakat (Agus, 2006: 41).
Jadi dengan adanya praktik talaqqi rukban dan hadhir li badin ini akan menganggu keseimbangan harga pasar. Karena dampak yang ditimbulkan dari transaksi ini adalah merusak hal-hal penentu yang menjadi faktor penetapan harga pasar. Selain itu, yang dirugikan dalam transaksi ini adalah orang-orang yang menjual barang tersebut kepada orang yang melakukan talaqqi rukban dan hadhir li badin.
B.     Ihtikar
1.      Pengertian
Ihtikâr berasal dari kata bahasa Arab حكر  يحكر–   حكراSecara etimologi, dalam Lisanul Arab disebutkan  احكر= ادخارالطعام للتربصووصاحبه محتكرyaitu menyimpan makanan untuk ditahan, dan pelakunya disebut muhtakir. Pengertian ihtikâr di sini masih bersifat umum dan hanya pada makanan. Namun dalam Munjid dijelaskan yaitu mengumpulkan dan menahan sesuatu menunggu harganya mahal agar dapat dijual dengan keuntungan yang lebih banyak.
Secara terminologi ihtikar adalah seorang penjual menimbun makanan (dagangannya) dan menantikan naiknya harga dan menjualnya menunggu naiknya harga (al-Ghazali, 1967: 92). Sementara itu an-Nawawi (1995: 36) memberikan defenisi ihtikar yaitu:  yaitu membeli makanan pada waktu mahal untuk diniagakan dan tidak dijualnya dengan segera akan tetapi disimpannya supaya harganya mahal.
Bahasa Indonesia juga mengenal istilah ihtikar, namun jarang digunakan. Dalam kamus bahasa Indonesia, istilah ihtikar disebutkan sebagai penumpukan barang keperluan umum dengan jalan menyimpan untuk dijual kembali dengan harga tinggi supaya memperoleh untung yang besar (Peter dan Yenni, 1991: 550). Dalam istilah bahasa Inggris ihtikar lebih dikenal sebagai ‘monopoly’ (monopoli). Monopoly berarti ‘sole right to supply or trade in some commodity or service’ atau ‘commodity or service is controlled in some way. Orang yang melakukan monopoli disebut monopolist.’ (Chowie, 1989: 802).
2.      Dalil Hukum Ihtikar
a.       Al-Quran
….. وَتَعَاوَنُواْ عَلَى ٱلۡبِرِّ وَٱلتَّقۡوَىٰۖ وَلَا تَعَاوَنُواْ عَلَى ٱلۡإِثۡمِ وَٱلۡعُدۡوَٰنِۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۖ إِنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلۡعِقَابِ ٢

Artinya: Dan Tolong-menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. (Al-Maidah: 2)

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بن النَّضْرِ الْعَسْكَرِيُّ، حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بن سَلَمَةَ الْخَبَائِرِيُّ، حَدَّثَنَا بَقِيَّةُ بن الْوَلِيدِ، حَدَّثَنَا ثَوْرُ بن يَزِيدَ، عَنْ خَالِدِ بن مَعْدَانَ، عَنْ مُعَاذِ بن جَبَلٍ، قَالَ: سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، عَنِ الاحْتِكَارِ مَا هُوَ؟ قَالَ:"إِذَا سَمِعَ بِرُخَصٍ سَاءَهُ، وَإِذَا سَمِعَ بِغَلاءٍ فَرِحَ بِهِ، بِئْسَ الْعَبْدُ الْمُحْتَكِرُ، إِنْ أَرْخَصَ اللَّهُ الأَسْعَارَ حَزِنَ، وَإِنْ أَغْلاهَا اللَّهُ فَرِحَ". رواه الطبراني
Artinya: “Diceritakan dari Ahmad bin Nadlor Al-‘Askariy, diceritakan dari Sulaiman Al-Khobairy, diceritakan dari Baqiyyah bin Walid, diceritakan dari Tsaur bin Yazid, dari Kholid bin Ma’dan, dari Mu’adz bin Jabal berkata : Aku bertanya kepada Rasulullah saw tentang ihtikar, apakah itu ? Rasulullah bersabda : ketika seseorang (pedagang) mendengar harga murah ia merasa gelisah, dan ketika ia mendengar harga mahal, ia merasa senang, seburuk-buruk seorang hamba adalah orang yang melakukan ihtikar, keika Allah memberikan harga yang murah ia merasa susah, dan ketika Allah memberikan harga tinggi, ia merasa senang”(HR. At-Thobaroniy)
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ بْنِ قَعْنَبٍ حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ - يَعْنِى ابْنَ بِلاَلٍ - عَنْ يَحْيَى - وَهُوَ ابْنُ سَعِيدٍ - قَالَ كَانَ سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ يُحَدِّثُ أَنَّ مَعْمَرًا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنِ احْتَكَرَ فَهُوَ خَاطِئٌ ». فَقِيلَ لِسَعِيدٍ فَإِنَّكَ تَحْتَكِرُ قَالَ سَعِيدٌ إِنَّ مَعْمَرًا الَّذِى كَانَ يُحَدِّثُ هَذَا الْحَدِيثَ كَانَ يَحْتَكِرُ.رواه مسلم
 Artinya : Diceritakan dari Abdullah bin Maslamah bin Qa’nab, diceritakan dari Sulaiman bin Bilal, dari Yahya bin Sa’id berkata; Sa’id bin Musayyab menceritakan bahwa sesungguhnya Ma’mar berkata; Rasulullah saw pernah bersabda : Barang siapa yang melakukan praktek ihtikar (monopoli) maka dia adalah seseorang yang berdosa. Kemudian dikatakan kepada Sa’id, maka sesungguhnya kamu telah melakukan ihtikar, Sa’id berkata; sesungguhnya Ma’mar yang meriwayatkan hadits ini ia juga melakukan ihtikar. (HR. Muslim)
3.      Pemahaman Ayat dan Hadits Ihtikar
a.       Tafsir Ayat
Ibnu Katsir ketika menjelaskan tentang potongan ayat ini menjelaskan bahwa Allah Swt. memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman untuk saling menolong dalam berbuat kebaikan yaitu kebajikan dan meninggalkan hal-hal yang mungkar: hai ini dinamakan ketakwa­an. Allah Swt. melarang mereka bantu-membantu dalam kebatilan serta tolong-menolong dalam perbuatan dosa dan hal-hal yang diha­ramkan. Ibnu Jarir mengatakan bahwa dosa itu ialah meninggalkan apa yang  diperintahkan oleh Allah untuk dikerjakan. Pelanggaran itu artinya melampaui apa yang digariskan oleh Allah dalam agama kalian, serta melupakan apa yang difardukan oleh Allah atas diri kalian dan atas diri orang lain (Katsir, 2010: III/1).
b.      Tafsir Hadits
Ihtikâr atau menimbun harta dalam istilah al-Qur’an disebut dengan يكنزون . Kata ini dengan akar kata كنز dalam berbagai bentukannya disebut 8 kali dalam al-Qur’an. Dalam istilah yang berbeda; جمع والخلد, al-Qur’an juga mewanti-wanti ihtikâr. Dengan makna yang lebih umum dan lebih luas dengan istilah itu al-Qur’an juga menjelaskan tentang menimbun. Menimbun harta dalam pengertian mengumpulkan, menghitung-hitungnya untuk hidup yang dianggap kekal (al-Humazah/104:2-3). Dalam konteks ini, ihtikâr masuk pada kategori menimbun harta dan menghitung-hitung keuntungannya, walaupun secara khusus ihtikâr dimaksudkan sebagai menimbun harta untuk pedagangan demi keuntungan saja. Tidak semua ayat-ayat al-Qur’an tentang menimbun harta digunakan untuk konotasi negatif (menimbun harta dengan sengaja untuk mencari keuntungan). Menimbun harta hanya sebagai harta simpanan atau untuk kepentingan umat dalam hal ini bukan termasuk ihtikâr, sebagaimana halnya pada kisah Nabi Yusuf yang menimbun harta untuk menghadapi paceklik.
Dari penjelasan makna kata dan konteks al-Qur’an di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa menimbun harta dapat dikategorikan pada dua makna:
Pertama, Menimbun harta untuk kebutuhan hidup dan menyimpan harta untuk kepentingan pribadi asalkan tidak menyebabkan kekacauan ekonomi. memudaratkan pihak lain dan tetap memiliki makna sosial. Hal ini dibenarkan dan sejalan dengan fitrah manusia untuk menumbuhkan dan memperbanyak harta. Al-Qur’an sendiri menghendaki kita mencari harta sebagaimana termaktub pada surat al-Jumu’ah/62: 10.  Kedua, Menimbun harta untuk menahan dengan sengaja pada waktu tertentu sehingga harta tersebut sedikit beredar di pasaran untuk kemudian dijual dengan harga yang mahal pada waktu orang banyak sangat membutuhkan demi mencari keuntungan yang besar. Inilah yang masuk pada kategori ihtikâr.
Selanjutnya kata خطىء , Al-Raghib al-Isfahani mengatakan خطىء yaitu orang yang sengaja melakukan dosa. Di dalam kata خطىء terkandung maksiat yang besar (Ibnu Majah: 728). Imam an-Nawawi mengatakan هو العاص اثم  خطىء  ; orang yang maksiat, orang yang berdosa. Menurut Yusuf Qardhawi, kata خطىء (orang yang berbuat dosa, salah) bukan kata yang ringan. Kata ini disebutkan al-Qur’an untuk menyebutkan sifat orang yang sombong dan angkuh seperti Fir’aun, Hâman dan kawan-kawannya (Sukiati, 2009: 163-164).
Dalam konteks al-Qur’an خطىء antara lain ditujukan kepada Fir’aun, Hâman dan kawan-kawannya dengan makna sebagai orang yang berdosa (al-Qashash/28: 8), Tuduhan terhadap Yusuf (Yusuf/12: 29), Orang-orang berdosa, yang memakan darah dan nanah di neraka (al-Haqqah/69: 37) (Sukiati, 2009: 163-164).
Dari penjelasan di atas maka dapat disimpulkan خطىء adalah orang yang berdosa atau orang melakukan dosa. Menurut pemakalah pada kata ini terdapat unsur kesengajaan dalam melakukan dosa bila dikaitkan dengan aktivitas ihtikar di atas.
4.      Analisis Transaksi Ihtikar dalam Konteks Kekinian.
Menyoal ihtikar dalam konteks hari ini, kebanyakan kita pasti beranggapan bahwa ihtikar adalah monopoli. Setidaknya ada beberapa perbedaan dan persamaan antara ihtikar dan monopoli. Iswardono (1990: 104) dalam bukunya Ekonomi Mikro menjelaskan persamaan dan perbedaan dari kedua istilah ini. Berikut adalah persamaan antara ihtikar dengan monopoli:
1.  Monopoli dan al-ihtikar sama-sama memiliki unsur kepentingan sepihak dalam mempermainkan harga.
2.  Pelaku monopoli dan al-ihtikar sama-sama memiliki hak opsi untuk menawarkan barang-barang ke pasaran ataupun tidak menawarkannya.
3.  Monopoli dan Ihtikar dapat mengakibatkan kerugian ketidakpuasan pada masyarakat.
Sedangkan perbedaan ihtikar dengan monopili adalah:
1.                 Bahwa monopoli terjadi jika seseorang memiliki modal yang besar dan dapat memproduksi suatu barang tertentu di pasaran yang dibutuhkan oleh masyarakat, sedangkan Ihtikar tidak hanya bisa dilakukan oleh pemilik modal besar namun masyarakat menengah dengan modal seadanya pun bisa melakukannya.
2.                 Suatu perusahaan monopolis cenderung dalam melakukan aktifitas ekonomi dan penetapan harga mengikuti ketentuan pemerintah (adanya regulasi standard pemerintah), sedangkan ihtikar dimana dan kapan pun bisa dilakukan oleh siapa saja, sebab penimbunan sangat mudah untuk dilakukan.
3.                 Untuk mendapatkan keuntungan yang maksimum, dalam ihtikar kelangkaan barang dan kenaikan harga suatu barang terjadi dalam waktu dan tempo yang tentitif dan mendadak dan dapat mengakibatkan inflasi. Sementara dalam monopoli kenaikan harga biasanya cenderung dipengaruhi oleh mahalnya biaya produksi dan operasional suatu perusahaan walaupun kadang-kadang juga dipengaruhi oleh kelangkaan barang.
4.                 Praktek monopoli adalah legal dan bahkan di negara tertentu dilindugi oleh undang-undang atau aturan suatu negara, sedangkan ihtikar merupakan aktifitas ekonomi yang ilegal.
Apabila telah terjadi penimbunan barang, maka disinilah peran pemerintah untuk memaksa para pedagang untuk menjual barang tersebut dengan harga standar yang berlaku di pasar. Bahkan menurut para ulama barang yang ditimbun oleh para pedagang dijual dengan harga modalnya dan pedagang tersebut tidak dibenarkan mengambil keuntungan sebagai hukuman terhadap mereka. Sekiranya para pedagang itu enggan menjual barangnya dengan harga pasar, maka pihak penegak hukum (hakim) dapat menyita barang itu dan kemudian membagikannya kepada masyarakat yang memerlukannya.
Pihak pemerintah seharusnya setiap saat memantau dan mengantisipasi agar tidak terjadi ihtikaar dalam setiap komoditas, manfaat dan jasa yang sangat diperlukan masyarakat. Harga standar yang tidak memberatkan dan merugikan pedagang harus dipadukan dan tidak menguntungkan sepihak antara masyarakat dan pedagang.
Menurut Fathi ad-Duraini bahwa Pemerintah tidak dibenarkan mengekspor bahan kebutuhan warganya sampai tidak ada lagi yang dapat dikonsumsi oleh masyarakat, sehingga membawa kemudharatan. Pengeksporan barang-barang yang diperlukan masyarakat pada dasarnya sama dengan ikhtikaar dari segi akibat yang dirasakan oleh masyarakat. Lebih parah lagi, apabila barang- barang itu dikirim ke luar negeri seperti halnya minyak tanah, padahal masyarakat betul-betul membutuhkannya. Sebagaimana di jelaskan dalam kaidah fiqh yang berkaitan dengan fungsi penguasa, yaitu:
تَصَرُّفُ الْأِمَاِم عَلَى الرَّاعِيَّةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَةِ

Artinya: : “Tindakan penguasa harus senantiasa mengacu kepada kemaslahatan orang banyak.” (Djazuli: 2006: 15)
Ada suatu hal lagi yang dapat mengganggu perekonomian yang sama halnya dengan ihtikar, yaitu hak monopoli suatu komoditas, seperti cengkeh, kopi dan sebagainya. Para pemegang hak monopoli itu dapat saja menentukan harga suatu barang menurut sesuka hati mereka, sehingga ada pihak yang merugikan. Mereka dapat menurunkan harga pasar dan menaikkan kembali. Segala tindakan mereka hanya mementingkan kepentingan pribadi, bukan kepentingan orang banyak.Dengan demikian, roda perekonomian dikendalikan oleh segelintir orang, tanpa memperhitungkan kemudharatan orang lain.
Penimbunan barang merupakan halangan terbesar dalam pengaturan persaingan dalam pasar Islam. Dalam tingkat internasional, menimbun barang menjadi penyebab terbesar dari krisis yang dialami oleh manusia sekarang, yang mana beberapa negara kaya dan maju secara ekonomi memonopoli produksi, perdagangan, bahan baku kebutuhan pokok. Bahkan, negara-negara tersebut memonopoli pembelian bahan-bahan baku dari negara yang kurang maju perekonomiannya dan memonopoli penjulan komoditas industri yang dibutuhkan oleh negara-negara tadi. Hal itu menimbulkan bahaya besar terhadap keadilan distribusi kekayaan dan pendapatan dalam tingkat dunia.

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Talaqqi Rukban maksudnya adalah menghadang rombongan pedagang atau orang yang membawa bahan makanan ke suatu negeri untuk dijual, baik berkendaraan ataupun berjalan kaki, baik beramai-ramai atau sendirian. Dalam hadits disebutkan yang umum, karena umumnya pedagang itu berombongan. Transaksi dianggap Talaqqi Rukban jika terjadi luar pasar. Begitu juga dengan Hadhir li Badin pada Hadits yang penulis sajikan di atas menunjukkan, bahwa penduduk kota tidak boleh menjual kepada penduduk desa, tanpa dibedakan apakah desa itu jauh atau dekat, dan juga tidak dibedakan apakah diwaktu harga mahal atau tidak, baik diwaktu penduduk kota memerlukan barang itu ataupun tidak, baik menjual secara bertahap atau sekaligus.Sedangkan ihtikar adalah menahan (menimbun) barang-barang pokok manusia untuk dapat meraih keuntungan dengan menaikkan harganya serta menunggu melonjaknya harga di pasaran.
Jadi dengan adanya praktik talaqqi rukban, hadhir li badin dan ihtikar ini akan menganggu keseimbangan harga pasar. Karena dampak yang ditimbulkan dari transaksi ini adalah merusak hal-hal penentu yang menjadi faktor penetapan harga pasar. Selain itu, yang dirugikan dalam transaksi ini adalah orang-orang yang menjual barang tersebut kepada orang yang melakukan talaqqi rukban, hadhir li badin dan ihtikar.

DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Abdullah, Taisirrul ‘Allam Syarh Umdatul Ahkam. Jakarta: PT. Pustaka Azzam, 2010.
Agus, Bustanuddin. Islam dan Ekonomi. Yogyakarta: Andalas University Press, 2006.
Al- ‘Asqalani, Syihabu al-Din Ahmad bin ‘Ali bin Hajr, Ibanatu al-Akam Syarhu Bulugul Marām, Juz III Qismu al-Mu’amalh, Beirut, Dar al-Fikri, 2004.
al-‘Asqalani, Ibn Hajar. Fath al-Bari, terj. Amiruddin. Jakarta: Pustaka Azzam, 2013.
Al-Anshari, Jamal al-Din Muhammad Mukarram. Lisanul Arab. juz IV. Beirut: Dâr al- Mishriyyah, t.t.
Al-Gazâlî, Abû Hamid Muhammad ibn Muhammad. Ihyâ’ ‘Ulum al-Din, juz II. Mesir: Mu’assasah al-Halabî wa âhu, 1967.
Al-Nawawi. Shahih Muslim bi Syarh an-Nawawi. juz XI. Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1995.
Al-Suyuti, Abdurrahman, Al-Asybah wa Al-Nadhar, Beirut: Daar al-Fikr.
Ash-Shan’ani, Muhammad bin Ismail Al-Amir. Subulus Salam Syarah Bulughul Maram, terj.  Muhammad Isnan, dkk, Vol 2, cet 4. Jakarta: Darus Sunnah, 2010.
Asyari, Kamus Istilah Ekonomi Syariah, Padang, PT. Al-Ma’arif, 2003.
Aziz, Faishal bin Abdul. Nailul Authar. terj. A. Qadir Hassan, dkk. Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1993.
Cowie, A.P. (ed.). Oxford Advanced Learner’s Dictionary. Oxford: Oxford University Press, 1989.
Djazuli, Kaidah-Kaidah Fiqh: Kaidah-Kaidah Hukum Islam Dalam Menyelesaikan Masalah- Masalah Yang Praktis Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006.
Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, terj. Abdul Ghoffar., Bogor: Pustaka Imam Syafii, 2003. Jilid II.
Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, terj. Abdul Ghoffar. Bogor: Pustaka Imam Syafii, 2003. Jilid III.
Iswardono, Ekonomi Mikro, Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 1990.
Muslim, Abu Al-Husain bin Hajjaj bin Muslim Al-Qusyairy Al-Nasisabury, Al-Jami’ Al-Shohih Al-Musamma Shahih Muslim Juz 5, Beirut, Darul Jayl.
Sukiati, Hukum Melakukan Penimbunan Harta/Monopoli (ihtikâr) Dalam Perspektif Hadis, UIN Sumatera Utara, Jurnal Miqot Vol. XXXIII No. 2 Juli-Desember 2009.
Salim, Peter dan Yenny Salim. Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer. Jakarta: Modern English Press, 1991.
Sulaiman bin Ahmad bin Ayyub Abu Al-Qosim At-Thobarony, Al-Mu’jam Al-kabir Juz 15,
Tayyar, Ath, Abdullah bin Muhammad, Ensiklopedi Fiqih Muamalah dalam Pandangan Empat Madzhab (Diterjemahkan oleh Miftahul Khairi), Yogyakarta, Maktabah al-Hanif, Cetakan I, 2009.
Wahyuni Afidah, Penimbunan Barang dalam Perspektif Hukum Islam,  UIN Ciputat, Jurnal Iqtishad Vol. II No. 2, Juli 2010.


MELIHAT TALAQQI RUKBAN, HADHIR LI BADIN DAN IHTIKAR DALAM KONTEKS JAMAN NOW

MELIHAT TALAQQI RUKBAN, HADHIR LI BADIN DAN IHTIKAR DALAM KONTEKS JAMAN NOW BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Masalah ...