BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah
Berbicara tentang permasalahan ekonomi, Islam
menjadikan permasalahan ekonomi sebagai salah satu hal yang sangat fundamental
bagi umat Islam. Maka dari itu, tidak sedikit umat Islam pada masa lampau yang
bergelut dalam permasalahan tersebut. Perlu diingat pula bahwa Islam pada sekitar empat abad (ke-8, ke-9,
ke-10, ke-11) lamanya menjadi penguasa di belahan dunia ini. Hal itu bisa
terjadi karena umat Islam mendapat dukungan sektor ekonomi yang sangat besar (Wahyuni,
2010: 159-160).
Dalam
sejarah tercatat bahwa negara Islam pada masa itu menjadi transit perdagangan
internasional sebelum barang-barang dagangan diekspor ke wilayah-wilayah Eropa
dan sekitarnya. Namun, sayangnya umat Islam pada masa-masa berikutnya malah
tertindas, bahkan dijajah oleh bangsa-bangsa Barat. Permasalahan tersebut
diduga oleh para pengamat akibat kurangnya perhatian para tokoh agama dalam
masalah itu. Perhatian mereka lebih banyak terfokus kepada masalah-masalah
ibadat saja. Akibatnya, dari banyak negara Islam di dunia pada umumnya
tergolong negara miskin (Wahyuni, 2010: 159-160).
Beranjak dari historis di atas,
sebenarnya Islam sangat memotivasi umatnya untuk berusaha mendapatkan kehidupan
yang baik di dunia maupun di akhirat agar dapat tercapai kesejahteraan lahir
dan batin. Karenanya tidak berlebihan jika agama Islam juga dapat dikatakan
sebagai agama pemberdayaan, yang berupaya memberdayakan pemeluknya untuk dapat
hidup yang seimbang antara kebutuhan duniawi dan ukhrawi. Untuk
memperolehnya, perlu adanya pemberdayaan yang sejalan dengan paradigma Islam
sendiri sebagai agama gerakan atau perubahan, bahkan sebagai kekuatan pembebas
(liberating force) terutama dari ketertinggalan dan ketertindasan
ekonomi.
Amat wajar apabila dalam pelbagai
aktivitas perekonomian, umat Islam diatur sedemikian rupa dengan tujuan agar
setiap kegiatan tersebut tidak keluar dari koridor yang berlaku di dalam Islam.
Maka dalam bermuamalah berlakulah sebuah kaidah yang mengatakan:
الأَصْلُ فِى اْلأَشْيَاءِ اْلإِ بَا حَة حَتَّى يَدُ لَّ اْلدَّلِيْلُ عَلَى التَّحْرِيْمِ
Artinya:“hukum asal dari sesuatu (muamalah) adalah mubah sampai ada dalil yang melarangnya (memakruhkannya atau mengharamkannya). (Suyuthi, 1996: 86)
Kaidah fiqih dalam muamalah di atas
memberikan arti bahwa dalam aktivitas bermuamalah, manusia diberikan
kebebasan sebebas-bebasnya untuk melakukan apa saja yang bisa memberikan
manfaat kepada dirinya sendiri, sesamanya dan lingkungannya, selama hal
tersebut tidak ada ketentuan yang melarangnya. Kaidah ini didasarkan pada
Hadist Rasulullah yang berbunyi: “antum a’alamu bi ‘umurid
dunyakum” (kamu lebih tahu atas urusan duniamu). Bahwa dalam urusan
kehidupan dunia yang penuh dengan perubahan atas ruang dan waktu, Islam
memberikan kebebasan mutlak kepada manusia untuk menentukan jalan hidupnya,
tanpa memberikan aturan-aturan kaku yang bersifat dogmatis. Hal ini memberikan
dampak bahwa Islam menjunjung tinggi asas kreativitas pada umatnya untuk bisa
mengembangkan potensinya dalam mengelola kehidupan ini, khususnya berkenaan
dengan fungsi manusia sebagai khalifatullah fil ‘ardh
(wakil Allah di bumi).
Efek yang timbul dari kaidah fiqih
muamalah di atas adalah adanya ruang lingkup yang sangat luas dalam penetapan
hukum-hukum muamalah, termasuk juga hukum ekonomi. Ini berarti suatu transaksi
baru yang muncul dalam fenomena kontemporer yang dalam sejarah Islam belum
ada/dikenal, maka transaksi tersebut “dianggap” diperbolehkan, selama transaksi
tersebut tidak melanggar prinsip-prinsip yang dilarang dalam Islam.
Fenomena hari ini adalah banyaknya umat Islam justru terjebak dalam transaksi-transaksi yang terlarang dalam Islam, seperti riba, ihtikar, talaqqi rukban, dll.Berangkat dari hal di atas penulis akan membahas tentang aktivitas muamalah yang terlarang didalam Islam yakni, Talaqqi Rukban, al-Hadhir li Badin, dan ihtikar.
Fenomena hari ini adalah banyaknya umat Islam justru terjebak dalam transaksi-transaksi yang terlarang dalam Islam, seperti riba, ihtikar, talaqqi rukban, dll.Berangkat dari hal di atas penulis akan membahas tentang aktivitas muamalah yang terlarang didalam Islam yakni, Talaqqi Rukban, al-Hadhir li Badin, dan ihtikar.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan
masalah dari makalah ini adalah:
1. Apa itu Talaqqi Rukban, al-Hadhir li Badin, dan ihtikar?
2. Apa dalil hukum Talaqqi Rukban, al-Hadhir li Badin, dan
ihtikar?
3. Bagaimana Pemahaman Hadits Talaqqi Rukban, al-Hadhir
li Badin, dan ihtikar?
4. Bagaimana aktivitas Talaqqi Rukban, al-Hadhir li
Badin, dan ihtikar dalam konteks hari ini?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Talaqqi Rukban dan Hadhir li
Badin
1. Pengertian
Disebut
juga Taqqi as-Silai', suatu peristilahan dalam fiqh muamalah yang
menggambarkan proses pembelian komoditi/barang dengan cara mencegat orang desa
(kafilah), yang membawa barang dagangannya (hasil pertanian, seperti: beras,
jagung, dan gula) sebelum sampai di pasar agar ia dapat membeli barang di bawah
harga yang berlaku di pasar. Praktik ini dapat mendatangkan kerugian bagi orang
desa yang belum mengetahui/buta dengan harga yang berlaku di pasar. (Asyari,
2003: 100)
Sedangkan Hadhir
li Badin adalah berasal dari
Perkataan حَاضِرٌ
itu maksudnya “pedagang kota” dan باَ دٍ maksudnya
pedagang desa.يَبِيعَ
Bermakna
menjual dan membeli. Ibn Hubaib al-Maliki
berkata, “Membeli untuk orang dusun sama dengan menjual untuknya, berdasarkan
sabda rasulullah Saw: (Janganlah sebagian kalian membeli apa yang sedang dibeli oleh orang lain).
Pada lafadz ini digunakan lafadz bai’(menjual), tetapi maksudnya adalah shira’(membeli) (al-‘Asqalani, 2013: XII/271)
2. Dalil Hukum Talaqqi Rukban
dan Hadhir li Badin
a. Al-Quran
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا
تَأۡكُلُوٓاْ أَمۡوَٰلَكُم بَيۡنَكُم بِٱلۡبَٰطِلِ إِلَّآ أَن تَكُونَ تِجَٰرَةً
عَن تَرَاضٖ مِّنكُمۡۚ وَلَا تَقۡتُلُوٓاْ أَنفُسَكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ
بِكُمۡ رَحِيمٗا ٢٩
Artinya: Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil,
kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara
kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu (Q.S. An-Nisa: 29).
عَنْ عَبْدُ
الله بْنِ عَبَّا س رضي الله عنهما قال: نهى رسول الله صلى الله عليه وعليه وسلم
أن تتلقى الركبا ن، وأن يبيع حضر لبا د. قال: فقلت: لاابن عبا س ما قوله: حضر لبا
د؟ قل: لايكون له سمسا راز.
Artinya: “Dari Abdullah bin Abbas ra berkata, Nabi SAW pernah
bersabda: Janganlah kalian menjemput/menyambut kafilah dagang dan janganlah
orang kota membeli barang dagangan orang desa. Lalu aku bertanya pada Ibn Abbas
apa yang dimaksud tidak boleh membeli barang dari orang desa? Ia berkata dalam
jual-beli tidak ada simsar. (Abdullah, 2010: 711).
3. Pemahaman Ayat dan Hadits
a. Tafsir An-Nisa: 29
Allah Swt. melarang
hamba-hamba-Nya yang beriman memakan harta sebagian dari mereka atas sebagian
yang lain dengan cara yang batil, yakni melalui usaha yang tidak diakui oleh
syariat, seperti dengan cara riba dan judi serta cara-cara lainnya yang
termasuk ke dalam kategori tersebut dengan menggunakan berbagai macam tipuan
dan pengelabuan. Sekalipun pada lahiriahnya cara-cara tersebut memakai cara
yang diakui oleh hukum syara', tetapi Allah lebih mengetahui bahwa sesungguhnya
para pelakunya hanyalah semata-mata menjalankan riba, tetapi dengan cara hailah (tipu
muslihat). Demikianlah yang terjadi pada kebanyakannya (Katsir, 2005: II/279).
Hingga Ibnu Jarir
mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ibnul Musanna, telah menceritakan
kepada kami Abdul Wahhab, telah menceritakan kepada kami Daud, dari Ikrimah,
dari Ibnu Abbas sehubungan dengan seorang lelaki yang membeli dari lelaki lain
sebuah pakaian. Lalu lelaki pertama mengatakan, "Jika aku suka, maka aku
akan mengambilnya, dan jika aku tidak suka, maka akan ku kembalikan berikut
dengan satu dirham." Ibnu Abbas mengatakan bahwa hal inilah yang
disebutkan oleh Allah Swt. di dalam firman-Nya: Hai orang-orang yang
beriman. janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian dengan jalan yang
batil. (An-Nisa: 29) (Katsir, 2005: II/279).
Jadi segala bentuk kegiatan manusia
dalam bermuamalah dengan cara yang bathil dilarang berdasarkan dalil surat
an-Nisa: 29 beserta tafsiran yang dikemukakan oleh Ibnu Katsir dalam kitab
Tafsirnya.
b. Tafsir Hadits
Talaqqi Rukban maksudnya
adalah menghadang rombongan pedagang atau orang yang membawa bahan makanan ke
suatu negeri untuk dijual, baik berkendaraan ataupun berjalan kaki, baik
beramai-ramai atau sendirian. Dalam hadits disebutkan yang umum, karena umumnya
pedagang itu berombongan. Transaksi dianggap Talaqqi Rukban jika terjadi
luar pasar (Ash-Shan’ani, 2010: 356).
Ibnu Hajar al-Asqalani
(2004: 40) dalam kitabnya Ibanatul Ahkam Syarhu Bulughul Maram Qismu
al-Muamalah menerangkan tentang
hadits ini dengan mengatakan bahwa seseorang
yang membawa barang dagangan dari daerah lain, dengan alasan adanya perbedaan
harga barang dagangan di dua daerah tersebut, atau banyaknya permintaan pasar
di daerah yang akan di datangi. Kemudian penduduk asli daerah tersebut
menyambut mereka dengan tujuan untuk membeli barang dagangan tersebut dengan
harga yang lebih rendah dari harga ketika masuk ke pasar, demi memperoleh
keuntungan sebanyak-banyaknya dengan tidak memberitahukan harga yang sedang
berlaku.
Larangan di atas jelas
menunjukkan perbuatan itu haram, karena orang yang melakukannya memang sengaja
bermaksud menghadang rombongan dagang dan tahu kalau hal itu dilarang. Abu
Hanifah dan al-Auza’I membolehkan melakukan hal itu selagi tidak merugikan
masyarakat, bila merugikan, maka hal tersebut makruh. Dan apabila dilakukan
juga, maka menurut al-Hadawiyah dan As-Syafi’iyah transaksi itu tetap sah. Dan
Imam asy-Syafi’I memberikan hak pilih bagi si penjual, berdasarkan hadis yang
dikeluarkan Abu Dawud dan at- Tirmidzi dan dishahihkan oleh Ibnu
Khuzaimah, yaitu hadis Abu
Hurairah yang artinya: “Jangan kalian menghadang rombongan
pedagang, apabila seseorang menghadangnya kemudian membeli sesuatu darinya,
maka pedagang mempunyai hak pilih (khiyar) bila tiba di pasar” (Ash-Shan’ani, 2010: 357).
Dzahir hadis
menunjukkan bahwa ‘illat (alasan) dilarangnya
hal tersebut adalah untuk kemaslahatan penjual dan menghindarinya dari
kerugian. Ada yang mengatakan alasannya adalah untuk kemaslahatan komunitas
pasar berdasarkan hadis Ibnu Umar, “Janganlah kalian menghadang barang dagangan
hingga kalian tiba di pasar dengannya.” (Ash-Shan’ani, 2010: 357).
Sebagian ulama
menjadikan talaqqi rukban haram dengan beberapa syarat, diantaranya ada yang
mengatakan ia haram jika orang yang menghadang berbohong mengenai harga yang
berlaku di kota hingga dia membeli dari rombongan penjual dengan harga yang
jauh lebih murah dari harga semestinya. Ada juga yang menyatakan ia haram jika
si pembeli mengabari rombongan itu bahwa untuk bisa masuk pasar diperlukan
biaya sangat besar. Ada lagi yang mengatakan haram apabila si pembeli menipu
mereka dengan mengatakan bahwa dagangan mereka tidak akan laku. Semua syarat
yang disebutkan tidak dilandasi satu dalilpun, justru hadis tersebut berbicara
secara mutlak dan hukum aslinya adalah haram (Ash-Shan’ani, 2010: 357).
Begitu
juga dengan penafsiran Hadhir li Badin Hadis tersebut
menunjukkan, bahwa penduduk kota tidak boleh menjual kepada penduduk desa,
tanpa dibedakan apakah desa itu jauh atau dekat, dan juga tidak dibedakan
apakah diwaktu harga mahal atau tidak, baik diwaktu penduduk kota memerlukan
barang itu ataupun tidak, baik menjual secara bertahap atau sekaligus (Faishal,
1993: 1683).
(Janganlah
dia menjadi makelar baginya). Kata “simsar” asal maknanya adalah “orang menilai
suatu urusan dan mengawasinya” kemudian dikenal dengan istilah perantara jual
beli bagi orang lain dengan upah sebagai imbalan (Ash-Sha’ani,
2010: 358). Penafsiran Ibnu Abbas ini sekaligus merupakan sanggahan bagi mereka
yang mengatakan bahwa hadis tersebut bermakna larangan bagi orang kota menjual
sesuatu kepada orang dusun disaat barang tersebut sangat langka dan dibutuhkan
oleh penduduk kota. Pemahaman demikian tercantum dalam kitab-kitab madzhab
Hanafi (al-‘Asqalani, 2013: 266).
Imam Bukhari
berpendapat dilarangnya orang kota menjadi makelar bagi orang dusun karena
mengharapkan upah, Adapun bagi yang menasehatinya dengan memberitahukan bahwa
harga barang ini adalah sekian, maka menurutnya tidak masuk dalam cakupan
larangan tersebut (al-‘Asqalani, 2013: 266).
Tetapi
zhahir pendapat para ulama mengisyaratkan bahwa larangan tadi mencakup
semuanya, baik yang dengan imbalan maupun tidak (Ash-Shan’ani, 2010: 357).
Madzhab Syafi’i dan
Hanbali berpendapat bahwa yang dimaksud dengan “orang kota menjualkan barang
dagangan orang kampung” adalah transaksi dimana seorang asing mendatangi suatu
negeri dengan membawa barang dan berkeinginan menjualnya dengan harga pasaran
saat itu. Lalu penduduk negeri itu mendatanginya dan berkata kepadanya, “Simpanlah
barang itu padaku agar aku dapat menjualnya secara eceran dengan harga yang
lebih mahal dari harga pasaran”. Dalam hal ini mereka menjadikan hukum terkait
dengan orang dusun serta orang-orang yang bersekutu dengannya dari segi makna (al-‘Asqalani, 2013: 266-267).
Lebih lanjut, mereka
berpendapat bahwa penyebutan ‘orang dusun’ pada hadis itu dikarenakan umumnya
mereka tidak mengetahui harga pasaran. Oleh sebab itu orang-orang yang tidak
mengetahui harga pasaran juga termasuk dalam kelompok mereka. Larangan ini juga
bertujuan melindungi penduduk kota agar sebagian orang tidak menyarankan kepada
orang dusun untuk tidak bersegera menjual barangnya (al-‘Asqalani, 2013: 267).
Para ulama madzhab
Maliki mengaitkan larangan tersebut dengan ‘orang dusun’ secara khusus. Namun
dinukil pula dari Imam Malik bahwa tidak diikutkan dengan orang dusun dalam
hukum tersebut kecuali orang yang menyerupainya. Dia berkata, “Adapun
orang-orang dusun yang mengetahui harga barang dan pasar, maka mereka tidak
masuk dalam cakupan hadis di atas (al-‘Asqalani,
2013: 267).
Kemudian terdapat pula
pendapat yang meletakkan syarat, yakni bahwa si pembeli tahu bahwa transaksi
itu dilarang dan bahwa barang dagangan yang dibawa orang desa tadi adalah
termasuk barang yang banyak dibutuhkan orang. Dan bahwa yang menewarkan lebih
dulu adalah orang kota kepada orang desa. Dan jika orang desa yang justru
menawarkannya ke orang kota, maka tidak dilarang. Semua ketentuan-ketentuan
tersebut tidak di dukung oleh hadis, mereka hanya menyimpulkan dari sekian
banyak ‘Illat (alasan hukum) yang terdapat dalam hadis yang digunakan sebagai
hukum. Kemudian telah sama-sama dipahami bahwa larangan asalnya adalah haram,
ini adalah pendapat yang diyakini oleh sekelompok ulama (Ash-Shan’ani, 2010: 358).
4. Analisis Talaqqi Rukban dan
Hadhir li Badin
Praktik transaksi ini secara konkrit adalah
seorang penjual datang ke pasar dan pembeli menghadangnya sebelum penjual
sampai ke pasar. Kemudian pembeli tersebut membeli barang dagangannya dengan
harga dibawah standar pasar karena penjual tidak tahu harga standar yang
berlaku di pasar (Tayyar: 2009: 52).
Transaksi ini dilarang karena mengandung
dua hal : pertama, rekayasa penawaran yaitu mencegah masuknya barang ke pasar (entry barrier), kedua, mencegah penjual dari luar kota
untuk mengetahui harga pasar yang berlaku.
Adanya pelarangan ini dikarenakan adanya
unsur ke-tidakadilan atas tindakan yang dilakukan oleh pedagang kota yang tidak
menginformasikan harga yang sesungguhnya terjadi di pasar. Mencari barang
dengan harga lebih murah tidaklah dilarang, namun apabila transaksi jual-beli
antara dua pihak dimana yang satu memiliki informasi yang lengkap sementara
pihak lain tidak tahu berapa harga di pasar yang sesungguhnya, ini sangatlah
tidak adil dan merugikan salah satu pihak
Praktik-praktik
perdagangan tersebut di atas, agaknya bertentangan dengan prinsip ekonomi Islam
yang menekankan pada unsur akidah, syariah dan moral. Ekonomi islam sendiri,
menurut Umar Capra didefinisikan sebagai suatu cabang pengetahuan yang membantu
merealisasikan kesejahteraan manusia melalui alokasi dan distribusi
sumber-sumber daya langka yang seirama dengan maqasid
syariah (tujuan syariat islam),
tanpa mengekang kebebasan individu, tanpa menciptakan ketidakseimbangan makro
ekonomi dan krisis ekologi yang berkepanjangan atau tanpa melemahkan
solidaritas keluarga dan sosial serta jaringan moral masyarakat (Agus, 2006:
41).
Jadi
dengan adanya praktik talaqqi rukban dan hadhir li badin ini akan
menganggu keseimbangan harga pasar. Karena dampak yang ditimbulkan dari
transaksi ini adalah merusak hal-hal penentu yang menjadi faktor penetapan
harga pasar. Selain itu, yang dirugikan dalam transaksi ini adalah orang-orang
yang menjual barang tersebut kepada orang yang melakukan talaqqi rukban dan
hadhir li badin.
B. Ihtikar
1. Pengertian
Ihtikâr berasal dari
kata bahasa Arab حكر – يحكر– حكراSecara
etimologi, dalam Lisanul Arab disebutkan احكر= ادخارالطعام للتربصووصاحبه محتكرyaitu
menyimpan makanan untuk ditahan, dan pelakunya disebut muhtakir.
Pengertian ihtikâr di sini masih bersifat umum dan hanya pada makanan.
Namun dalam Munjid dijelaskan yaitu mengumpulkan dan menahan sesuatu menunggu harganya mahal agar dapat
dijual dengan keuntungan
yang lebih banyak.
Secara terminologi ihtikar adalah seorang penjual menimbun makanan
(dagangannya) dan menantikan naiknya harga dan menjualnya menunggu naiknya
harga (al-Ghazali, 1967: 92). Sementara itu an-Nawawi (1995: 36) memberikan
defenisi ihtikar yaitu: yaitu
membeli makanan pada waktu mahal untuk diniagakan dan tidak dijualnya dengan
segera akan tetapi disimpannya supaya harganya mahal.
Bahasa Indonesia juga mengenal istilah ihtikar, namun jarang
digunakan. Dalam kamus bahasa Indonesia, istilah ihtikar disebutkan
sebagai penumpukan barang keperluan umum dengan jalan menyimpan untuk dijual
kembali dengan harga tinggi supaya memperoleh untung yang besar (Peter dan
Yenni, 1991: 550). Dalam istilah bahasa Inggris ihtikar lebih dikenal
sebagai ‘monopoly’ (monopoli). Monopoly berarti ‘sole right to
supply or trade in some commodity or service’ atau ‘commodity or service is controlled
in some way. Orang yang melakukan monopoli disebut monopolist.’ (Chowie, 1989:
802).
2. Dalil Hukum Ihtikar
a. Al-Quran
….. وَتَعَاوَنُواْ عَلَى ٱلۡبِرِّ وَٱلتَّقۡوَىٰۖ وَلَا تَعَاوَنُواْ
عَلَى ٱلۡإِثۡمِ وَٱلۡعُدۡوَٰنِۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۖ إِنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ
ٱلۡعِقَابِ ٢
Artinya: Dan
Tolong-menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa dan
jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. (Al-Maidah:
2)
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بن النَّضْرِ
الْعَسْكَرِيُّ، حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بن سَلَمَةَ الْخَبَائِرِيُّ، حَدَّثَنَا
بَقِيَّةُ بن الْوَلِيدِ، حَدَّثَنَا ثَوْرُ بن يَزِيدَ، عَنْ خَالِدِ بن
مَعْدَانَ، عَنْ مُعَاذِ بن جَبَلٍ، قَالَ: سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، عَنِ الاحْتِكَارِ مَا هُوَ؟ قَالَ:"إِذَا
سَمِعَ بِرُخَصٍ سَاءَهُ، وَإِذَا سَمِعَ بِغَلاءٍ فَرِحَ بِهِ، بِئْسَ الْعَبْدُ
الْمُحْتَكِرُ، إِنْ أَرْخَصَ اللَّهُ الأَسْعَارَ حَزِنَ، وَإِنْ أَغْلاهَا
اللَّهُ فَرِحَ". رواه الطبراني
Artinya: “Diceritakan dari Ahmad bin
Nadlor Al-‘Askariy, diceritakan dari Sulaiman Al-Khobairy, diceritakan dari
Baqiyyah bin Walid, diceritakan dari Tsaur bin Yazid, dari Kholid bin Ma’dan,
dari Mu’adz bin Jabal berkata : Aku bertanya kepada Rasulullah saw tentang
ihtikar, apakah itu ? Rasulullah bersabda : ketika seseorang (pedagang)
mendengar harga murah ia merasa gelisah, dan ketika ia mendengar harga mahal,
ia merasa senang, seburuk-buruk seorang hamba adalah orang yang melakukan
ihtikar, keika Allah memberikan harga yang murah ia merasa susah, dan ketika
Allah memberikan harga tinggi, ia merasa senang”. (HR. At-Thobaroniy)
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ
مَسْلَمَةَ بْنِ قَعْنَبٍ حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ - يَعْنِى ابْنَ بِلاَلٍ - عَنْ
يَحْيَى - وَهُوَ ابْنُ سَعِيدٍ - قَالَ كَانَ سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ
يُحَدِّثُ أَنَّ مَعْمَرًا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- «
مَنِ احْتَكَرَ فَهُوَ خَاطِئٌ ». فَقِيلَ لِسَعِيدٍ فَإِنَّكَ تَحْتَكِرُ قَالَ
سَعِيدٌ إِنَّ مَعْمَرًا الَّذِى كَانَ يُحَدِّثُ هَذَا الْحَدِيثَ كَانَ
يَحْتَكِرُ.رواه مسلم
Artinya : Diceritakan dari
Abdullah bin Maslamah bin Qa’nab, diceritakan dari Sulaiman bin Bilal, dari
Yahya bin Sa’id berkata; Sa’id bin Musayyab menceritakan bahwa sesungguhnya
Ma’mar berkata; Rasulullah saw pernah bersabda : Barang siapa yang melakukan
praktek ihtikar (monopoli) maka dia adalah seseorang yang berdosa. Kemudian
dikatakan kepada Sa’id, maka sesungguhnya kamu telah melakukan ihtikar, Sa’id
berkata; sesungguhnya Ma’mar yang meriwayatkan hadits ini ia juga melakukan
ihtikar. (HR. Muslim)
3. Pemahaman Ayat dan Hadits Ihtikar
a. Tafsir Ayat
Ibnu Katsir ketika
menjelaskan tentang potongan ayat ini menjelaskan bahwa Allah Swt.
memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman untuk saling menolong dalam
berbuat kebaikan yaitu kebajikan dan meninggalkan hal-hal yang mungkar: hai ini
dinamakan ketakwaan. Allah Swt. melarang mereka bantu-membantu dalam kebatilan
serta tolong-menolong dalam perbuatan dosa dan hal-hal yang diharamkan. Ibnu
Jarir mengatakan bahwa dosa itu ialah meninggalkan apa yang diperintahkan
oleh Allah untuk dikerjakan. Pelanggaran itu artinya melampaui apa yang
digariskan oleh Allah dalam agama kalian, serta melupakan apa yang difardukan
oleh Allah atas diri kalian dan atas diri orang lain (Katsir, 2010: III/1).
b. Tafsir Hadits
Ihtikâr atau menimbun harta dalam istilah al-Qur’an disebut
dengan يكنزون . Kata ini dengan akar kata كنز dalam berbagai
bentukannya disebut 8 kali dalam al-Qur’an. Dalam istilah yang berbeda; جمع والخلد, al-Qur’an juga
mewanti-wanti ihtikâr. Dengan makna yang lebih umum dan lebih luas
dengan istilah itu al-Qur’an juga menjelaskan tentang menimbun. Menimbun harta dalam
pengertian mengumpulkan, menghitung-hitungnya untuk hidup yang dianggap kekal (al-Humazah/104:2-3).
Dalam konteks ini,
ihtikâr masuk pada kategori menimbun harta dan menghitung-hitung keuntungannya,
walaupun secara khusus ihtikâr dimaksudkan sebagai menimbun harta untuk pedagangan demi
keuntungan saja. Tidak semua ayat-ayat al-Qur’an tentang menimbun harta digunakan untuk konotasi
negatif (menimbun harta dengan sengaja untuk mencari keuntungan). Menimbun harta hanya sebagai
harta simpanan atau untuk
kepentingan umat dalam hal ini bukan termasuk ihtikâr,
sebagaimana halnya pada
kisah Nabi Yusuf yang menimbun harta untuk menghadapi paceklik.
Dari penjelasan makna kata dan konteks al-Qur’an di atas
maka dapat ditarik kesimpulan bahwa menimbun harta dapat dikategorikan pada dua
makna:
Pertama, Menimbun harta untuk kebutuhan hidup dan
menyimpan harta untuk kepentingan pribadi asalkan tidak menyebabkan kekacauan
ekonomi. memudaratkan pihak lain dan tetap memiliki makna sosial. Hal ini
dibenarkan dan sejalan dengan fitrah manusia untuk menumbuhkan dan memperbanyak
harta. Al-Qur’an sendiri menghendaki kita mencari harta sebagaimana termaktub
pada surat al-Jumu’ah/62: 10. Kedua,
Menimbun harta untuk menahan dengan sengaja pada waktu tertentu sehingga harta
tersebut sedikit beredar di pasaran untuk kemudian dijual dengan harga yang
mahal pada waktu orang banyak sangat membutuhkan demi mencari keuntungan yang
besar. Inilah yang masuk pada kategori ihtikâr.
Selanjutnya kata خطىء , Al-Raghib al-Isfahani mengatakan خطىء yaitu orang yang sengaja melakukan dosa. Di dalam kata خطىء terkandung maksiat yang
besar (Ibnu Majah: 728). Imam an-Nawawi mengatakan هو العاص اثم خطىء ; orang yang maksiat, orang yang berdosa.
Menurut Yusuf Qardhawi, kata خطىء (orang yang berbuat
dosa, salah) bukan kata yang ringan. Kata ini disebutkan al-Qur’an untuk
menyebutkan sifat orang yang sombong dan angkuh seperti Fir’aun, Hâman dan
kawan-kawannya (Sukiati, 2009: 163-164).
Dalam konteks al-Qur’an خطىء antara lain ditujukan
kepada Fir’aun, Hâman dan kawan-kawannya dengan makna sebagai orang yang
berdosa (al-Qashash/28: 8), Tuduhan terhadap Yusuf (Yusuf/12: 29), Orang-orang
berdosa, yang memakan darah dan nanah di neraka (al-Haqqah/69: 37) (Sukiati,
2009: 163-164).
Dari penjelasan di atas maka dapat disimpulkan خطىء adalah orang yang
berdosa atau orang melakukan dosa. Menurut pemakalah pada kata ini terdapat
unsur kesengajaan dalam melakukan dosa bila dikaitkan dengan aktivitas ihtikar
di atas.
4. Analisis Transaksi Ihtikar dalam Konteks
Kekinian.
Menyoal ihtikar
dalam konteks hari ini, kebanyakan kita pasti beranggapan bahwa ihtikar adalah
monopoli. Setidaknya ada beberapa perbedaan dan persamaan antara ihtikar dan
monopoli. Iswardono (1990: 104) dalam bukunya Ekonomi Mikro menjelaskan
persamaan dan perbedaan dari kedua istilah ini. Berikut adalah persamaan antara ihtikar dengan
monopoli:
1. Monopoli
dan al-ihtikar sama-sama memiliki unsur kepentingan sepihak dalam mempermainkan harga.
2. Pelaku
monopoli dan al-ihtikar sama-sama memiliki hak opsi untuk menawarkan
barang-barang ke pasaran ataupun tidak menawarkannya.
3. Monopoli
dan Ihtikar dapat mengakibatkan kerugian ketidakpuasan pada masyarakat.
Sedangkan perbedaan ihtikar dengan
monopili adalah:
1.
Bahwa monopoli terjadi jika seseorang memiliki modal yang besar dan
dapat memproduksi suatu barang tertentu di pasaran yang dibutuhkan oleh
masyarakat, sedangkan Ihtikar tidak hanya bisa dilakukan oleh pemilik modal
besar namun masyarakat menengah dengan modal seadanya pun bisa melakukannya.
2.
Suatu perusahaan monopolis cenderung dalam melakukan aktifitas
ekonomi dan penetapan harga mengikuti ketentuan pemerintah (adanya regulasi
standard pemerintah), sedangkan ihtikar dimana dan kapan pun bisa dilakukan
oleh siapa saja, sebab penimbunan sangat mudah untuk dilakukan.
3.
Untuk mendapatkan keuntungan yang maksimum, dalam ihtikar
kelangkaan barang dan kenaikan harga suatu barang terjadi dalam waktu dan tempo
yang tentitif dan mendadak dan dapat mengakibatkan inflasi. Sementara dalam
monopoli kenaikan harga biasanya cenderung dipengaruhi oleh mahalnya biaya
produksi dan operasional suatu perusahaan walaupun kadang-kadang juga
dipengaruhi oleh kelangkaan barang.
4.
Praktek monopoli adalah legal dan bahkan di negara tertentu dilindugi
oleh undang-undang atau aturan suatu negara, sedangkan ihtikar merupakan
aktifitas ekonomi yang ilegal.
Apabila telah terjadi penimbunan barang, maka disinilah peran
pemerintah untuk memaksa para pedagang untuk menjual barang tersebut dengan
harga standar yang berlaku di pasar. Bahkan menurut para ulama barang yang
ditimbun oleh para pedagang dijual dengan harga modalnya dan pedagang tersebut
tidak dibenarkan mengambil keuntungan sebagai hukuman terhadap mereka.
Sekiranya para pedagang itu enggan menjual barangnya dengan harga pasar, maka
pihak penegak hukum (hakim) dapat menyita barang itu dan kemudian membagikannya
kepada masyarakat yang memerlukannya.
Pihak pemerintah seharusnya setiap saat memantau dan mengantisipasi
agar tidak terjadi ihtikaar dalam setiap komoditas, manfaat dan jasa yang
sangat diperlukan masyarakat. Harga standar yang tidak memberatkan dan
merugikan pedagang harus dipadukan dan tidak menguntungkan sepihak antara
masyarakat dan pedagang.
Menurut Fathi ad-Duraini bahwa Pemerintah tidak dibenarkan
mengekspor bahan kebutuhan warganya sampai tidak ada lagi yang dapat dikonsumsi
oleh masyarakat, sehingga membawa kemudharatan. Pengeksporan barang-barang yang
diperlukan masyarakat pada dasarnya sama dengan ikhtikaar dari segi akibat yang
dirasakan oleh masyarakat. Lebih parah lagi, apabila barang- barang itu dikirim
ke luar negeri seperti halnya minyak tanah, padahal masyarakat betul-betul
membutuhkannya. Sebagaimana di jelaskan dalam kaidah fiqh yang berkaitan dengan
fungsi penguasa, yaitu:
تَصَرُّفُ الْأِمَاِم
عَلَى الرَّاعِيَّةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَةِ
Artinya: : “Tindakan penguasa harus senantiasa mengacu kepada kemaslahatan
orang banyak.” (Djazuli:
2006: 15)
Ada suatu hal lagi yang dapat mengganggu perekonomian yang sama
halnya dengan ihtikar, yaitu hak monopoli suatu komoditas, seperti
cengkeh, kopi dan sebagainya. Para pemegang hak monopoli itu dapat saja
menentukan harga suatu barang menurut sesuka hati mereka, sehingga ada pihak
yang merugikan. Mereka dapat menurunkan harga pasar dan menaikkan kembali. Segala
tindakan mereka hanya mementingkan kepentingan pribadi, bukan kepentingan orang
banyak.Dengan demikian, roda perekonomian dikendalikan oleh segelintir orang, tanpa
memperhitungkan kemudharatan orang lain.
Penimbunan barang merupakan halangan terbesar dalam pengaturan
persaingan dalam pasar Islam. Dalam tingkat internasional, menimbun barang
menjadi penyebab terbesar dari krisis yang dialami oleh manusia sekarang, yang
mana beberapa negara kaya dan maju secara ekonomi memonopoli produksi,
perdagangan, bahan baku kebutuhan pokok. Bahkan, negara-negara tersebut
memonopoli pembelian bahan-bahan baku dari negara yang kurang maju
perekonomiannya dan memonopoli penjulan komoditas industri yang dibutuhkan oleh
negara-negara tadi. Hal itu menimbulkan bahaya besar terhadap keadilan
distribusi kekayaan dan pendapatan dalam tingkat dunia.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Talaqqi Rukban
maksudnya adalah menghadang rombongan pedagang atau orang yang membawa bahan
makanan ke suatu negeri untuk dijual, baik berkendaraan ataupun berjalan kaki,
baik beramai-ramai atau sendirian. Dalam hadits disebutkan yang umum, karena
umumnya pedagang itu berombongan. Transaksi dianggap Talaqqi Rukban
jika terjadi luar pasar. Begitu juga
dengan Hadhir li Badin pada Hadits yang penulis
sajikan di atas menunjukkan, bahwa penduduk kota tidak boleh menjual kepada
penduduk desa, tanpa dibedakan apakah desa itu jauh atau dekat, dan juga tidak
dibedakan apakah diwaktu harga mahal atau tidak, baik diwaktu penduduk kota memerlukan barang itu ataupun tidak, baik menjual secara
bertahap atau sekaligus.Sedangkan ihtikar adalah menahan (menimbun)
barang-barang pokok manusia untuk dapat meraih keuntungan dengan menaikkan
harganya serta menunggu melonjaknya
harga di pasaran.
Jadi dengan
adanya praktik talaqqi rukban, hadhir li badin dan ihtikar ini
akan menganggu keseimbangan harga pasar. Karena dampak yang ditimbulkan dari transaksi
ini adalah merusak hal-hal penentu yang menjadi faktor penetapan harga pasar.
Selain itu, yang dirugikan dalam transaksi ini adalah orang-orang yang menjual
barang tersebut kepada orang yang melakukan talaqqi rukban, hadhir li badin dan
ihtikar.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Abdullah, Taisirrul
‘Allam Syarh Umdatul Ahkam. Jakarta: PT. Pustaka Azzam, 2010.
Agus, Bustanuddin. Islam
dan Ekonomi. Yogyakarta: Andalas University Press, 2006.
Al-
‘Asqalani, Syihabu al-Din Ahmad bin ‘Ali bin Hajr, Ibanatu al-Aḥkam Syarhu
Bulugul Marām, Juz III Qismu al-Mu’amalh, Beirut, Dar al-Fikri,
2004.
al-‘Asqalani, Ibn Hajar.
Fath al-Bari, terj. Amiruddin. Jakarta: Pustaka Azzam, 2013.
Al-Anshari, Jamal al-Din Muhammad
Mukarram. Lisanul Arab. juz IV. Beirut: Dâr al- Mishriyyah,
t.t.
Al-Gazâlî, Abû Hamid
Muhammad ibn Muhammad. Ihyâ’ ‘Ulum al-Din, juz II. Mesir: Mu’assasah al-Halabî wa âhu, 1967.
Al-Nawawi. Shahih Muslim bi
Syarh an-Nawawi. juz XI. Beirut: Dâr
al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1995.
Al-Suyuti, Abdurrahman, Al-Asybah
wa Al-Nadhar, Beirut: Daar al-Fikr.
Ash-Shan’ani, Muhammad bin
Ismail Al-Amir. Subulus Salam Syarah Bulughul Maram, terj. Muhammad Isnan, dkk, Vol 2, cet 4. Jakarta: Darus Sunnah, 2010.
Asyari, Kamus Istilah
Ekonomi Syariah, Padang, PT. Al-Ma’arif, 2003.
Aziz, Faishal bin Abdul. Nailul
Authar. terj. A. Qadir Hassan, dkk. Surabaya: PT. Bina Ilmu,
1993.
Cowie, A.P. (ed.). Oxford
Advanced Learner’s Dictionary. Oxford: Oxford University Press, 1989.
Djazuli, Kaidah-Kaidah Fiqh: Kaidah-Kaidah Hukum
Islam Dalam Menyelesaikan Masalah- Masalah Yang Praktis Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2006.
Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, terj. Abdul Ghoffar.,
Bogor: Pustaka Imam Syafii, 2003. Jilid II.
Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, terj. Abdul Ghoffar.
Bogor: Pustaka Imam Syafii, 2003. Jilid III.
Iswardono,
Ekonomi Mikro, Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 1990.
Muslim, Abu Al-Husain bin Hajjaj bin Muslim Al-Qusyairy
Al-Nasisabury, Al-Jami’ Al-Shohih Al-Musamma Shahih Muslim Juz 5,
Beirut, Darul Jayl.
Sukiati, Hukum Melakukan
Penimbunan Harta/Monopoli (ihtikâr) Dalam Perspektif Hadis, UIN Sumatera Utara, Jurnal Miqot Vol. XXXIII No. 2 Juli-Desember
2009.
Salim, Peter dan Yenny
Salim. Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer. Jakarta: Modern English
Press, 1991.
Sulaiman bin Ahmad bin Ayyub Abu Al-Qosim At-Thobarony, Al-Mu’jam
Al-kabir Juz 15,
Tayyar,
Ath, Abdullah bin Muhammad, Ensiklopedi Fiqih Muamalah dalam Pandangan
Empat Madzhab (Diterjemahkan oleh Miftahul Khairi), Yogyakarta, Maktabah
al-Hanif, Cetakan I, 2009.
Wahyuni Afidah, Penimbunan
Barang dalam Perspektif Hukum Islam,
UIN Ciputat, Jurnal Iqtishad Vol. II No. 2, Juli 2010.
